KedaiPena.Com – Mengalahkan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok di Pilkada DKI 2017 sangat sehat untuk demokrasi.‎ Publik juga bebas mengkritik siapapun, sekali lagi, siapapun yang mengganggu dan mengintervensi proses hukum.Â
Demikian dikatakan Founder Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA dalam keterangan kepada KedaiPena.Com, ditulis Minggu (27/11).‎
“Publik juga bebas memobilisasi aksi protes sekrearif dan semassif apapun sejauh masih dalam koridor hukum nasional,” ujar dia.‎
Namun dalam gerakan yang membesar, selalu ada spektrum. Ini hukum besi gerakan sosial sepanjang sejarah. Di dalamnya akan ada kelompok kecil yang lebih ekstrem  dan radikal.Â
“Kelompok radikal ini punya agenda lain yang lebih keras, yang bisa membahayakan seluruh gerakan. Mereka meyakini gerakan radikal ini lebih substansial karena lebih ke jantung masalah,” tegas dia.‎
Ini terjadi di semua tempat dan semua waktu. Dalam studi ilmu politik, ia sudah menjadi pakem. ‎Karena itu gerakan anti Ahok itu penting untuk memisahkan diri dari “penumpang gelap.”Â
“Jika semata gerakan ini menuntut keadilan atas Ahok, dan ingin mengalahkan Ahok dalam pilkada 2017, ini gerakan yang substansinya sehat,” Denny mengatakan.‎
Namun jika ada penumpang gelap, ingin menggunakan sentimen anti ahok untuk menggulingkan presiden yang sah Jokowi, itu yang harus dikontrol. Dalam sepakbola, penumpang gelap itu sudah off-side.
Revolusi hanya akan melahirkan revolusi lainnya. Kudeta hanya akan melahirkan kudeta lainnya. Aksi mendongkel hanya akan melahirkan aksi mendongkel lainnya. Semua pergantian pemimpin nasional yang tidak melalui prosedur demokratis hanya akan menjadi kisah sedih yang kita sesali bersama di kemudian hari.
“Hanya SBY yang bisa keluar dari kisah sedih presiden Indonesia. Umumnya presiden Indonesia dipuja di awal, namun dihujat di akhir. Ini bukan tradisi yang ingin kita pupuk jika inginkan demokrasi yang sehat,” Denny berujar.‎
Presiden Soekarno, Suharto diturunkan di akhir masa jabatan. Presiden Habibie pertanggung jawabannya ditolak MPR sehingga ia tak bisa mencalonkan diri kembali. Gus Dur dilengserkan di tengah jalan.
Megawati menjadi presiden karena sebagai wapres, ia menggantikan Gus Dur, bukan karena sejak awal ia diangkat atau dipilih sebagai presiden. Namun Mega gagal mejadi presiden karena dikalahkan dalam pemilu.‎
“Kita harap tradisi yang dimulai oleh presiden SBY diikuti oleh presiden Indonesia berikutnya. Jangan ada lagi presiden Indonesia yang diturunkan atau didongkel di tengah jalan,” kata dia lagi.
Demokrasi tentu saja menyediakan prosedur demokratis mengganti presiden di tengah jalan, dengan apa yang disebut “impeachment.” Namun itu hanya diterapkan untuk kasus khusus, jika presiden melanggar  ketentuan sebagaimana yang disyaratkan konstitusi.
Mereka yang tak suka Jokowi sebaiknya menyiapkan barisan untuk mengalahkannya di pemilu presiden 2019 nanti, bukan sebelumnya.
“Gerakan 4 November, 2 Desember atau selanjutnya sebaiknya fokus  meminta keadilan untuk kasus Ahok saja. Dan sah juga jika gerakan ini punya efek membuat Ahok kalah di pilkada 2017. ‎Menambah menu agenda lebih besar ketimbang Ahok akan membuat gerakan ini berkurang pesonanya,” tuntas Denny.‎
Laporan: Muhammad Hafidh
‎