Artikel ini ditulis oleh KH. Dr. Muhammad Iqbal Kilwo, Pimpinan Yayasan At Taysir Madiun saat berada di Kuala Lumpur, Jum’at (24 Des 2021)
Pemilihan Presiden yang berjadwal per 5 tahun selalu dikenal juga dengan pesta demokrasi. Penamaan pesta demokrasi tidak lain adalah gambaran apa yang seharusnya terjadi dimana setiap warga negara turut serta dalam pesta tersebut dengan menggunakan hak suara untuk memilih calon presiden secara langsung, umum, bebas dan rahasia (luber).
Namun adanya ambang batas yang dikenal dengan Presidential Threshold 20% sebagai syarat pencalonan Presiden dan Wakil Presiden, menjadi penghalang terciptanya berbagai kebaikan yang seharusnya di dapat oleh semua anak bangsa sebaliknya malah mendatangkan seribu satu masalah, musibah dan berbagai keretakan dalam sistim bernegara serta krisis sosial seperti merajalela korupsi dan akses menjual kebijakan untuk menambal bayaran kepada cukong. Jelas sangat merugikan bagi sendi kehidupan berbangsa dan bernegara seperti yang disampaikan oleh Ketua KPK.
TP 20 % telah menggeser pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dari pesta demokrasi rakyat menjadi pesta oligarki. PT 20% adalah peraturan akal akalan yang telah menghianati nilai dan etika serta cita cita demokrasi yang kita perjuangkan bersama sejak kemerdekaan sehingga kejatuhan rezim orde baru tahun 1998. Peraturan abal abal PT 20 % ini sudah banyak dibahas oleh para pakar hukum tata negara dan para tokoh bangsa dari berbagai aspek. Terutama tinjauan konstitusi, pembajakan hak suara rakyat hingga logika purba yang menjadikan hasil suara suatu pemilu sebagai syarat untuk pemilu berikutnya.
Sekali lagi bahwa para pakar dan tokoh bangsa telah menelanjangi PT 20 % ini dan ternyata penuh aib dan strategi kotor yang semakin menjauhkan bangsa dan rakyat dari kemerdekaan sejati serta kemajuan kepada mendekati jurang keretakan dan multi krisis menuju karamnya bahtera besar NKRI.
Melengkapi kupasan para tokoh dan pakar hukum tatanegara terkait rusaknya PT 20% untuk syarat pencapresan, maka penulis menjagak semua elemen bangsa, terutama ummat Islam untuk membahas hukum PT 20% ini dari sudut pandang Fiqh Islam.
Jangan termakan racun Islamphobia yang bertujuan menjauhkan Islam dari politik dan kenegaraan, lalu menganggap hal ini tidak ada kaitan dengan Fiqh Islam, bukan bagian dari agama Islam. Sehingga takut serta kurang menarik untuk dibahas dari perspektif hukum Islam. Atau seperti yang di keluhkan oleh Dr. Rizal Ramli bahwa persoalan yang dihadapi bangsa ini adalah keengganan untuk bicara apa adanya. Banyak yang cerdas dan baik, namun suaranya hilang karena tidak berani bicara blak-blakan. Rizal ramli: jangan Baper! Halaman all. (https://money.kompas.com/read/2015/12/14/0817).
Satu langkah maju sudah dimulai oleh Forum Ukhuwah Islamiyah (FUI NKRI) terkait PT 20% ini. Dimana pada hari Kamis, 23 Des 2021 kemaren Ustadz Adang Suhardjo dari FUI NKRI bersama beberapa tokoh dan Da’i termasuk Ustadz Alfian Tanjung menyampaikan pernyataan sikap mendukung gerakan PT 0 %.(https://youtu.be/mLoIxji6lq0). Langkah yang baik dan benar ini perlu direspon dan diikuti oleh semua lapisan ummat. Sebab kupasan terkait PT 20 % ini tidak ada kaitan dengan eksistensi pemerintah saat ini. Ini urusan mengembalikan aturan pemilu dan pilpres dari langkah dan keputusan sebelumnya yang keliru untuk di benahi sesuai konstitusi untuk ajang Pilpres yang akan datang dan seterusnya.
Harus di sadari sejak awal bahwa ajang pilpres pada perspektif hukum Islam adalah proses penyerahan amanah terbesar dalam skala bernegara. Prosesnya pun harus pada bingkai paket yang tidak terpisah, dikenal dalam aspek ibadah sebagai rukun dan syarat. Serta semuanya berbasis pada amanah. Ingat bahwa kalimat amanah adalah dari kata iman, apabila dilakukan secara amanah maka akan membuahkan aman yang meliputi segala dimensi kehidupan perorangan, keluarga, kelompok dan masyarakat luas. Tetapi apabila amanah itu diselewengkan maka akan terjadi kehancuran. Orang menyerahkan amanah kepada yang tidak amanah (tidak mampu atau pemimpin boneka) akan ikut dalam kehancuran dan tidak lepas dari tanggungjawab.
Untuk itu saya mengajak para alim ulama dan ormas ormas Islam mengikuti jejak para tokoh dan pakar hukum tatanegara dan juga FUI NKRI yang telah banyak menyuarakan bantahan kepada MK dengan tuntutan menghilangkan PT 20 % menjadi 0 %. Bahkan MUI yang merupakan representatif ormas – ormas Islam seharusnya membahas dan mengeluarkan fatwa terkait masalah ini.
Kita sering membaca pandangan para ustadz dan da’i terkait ajakan kepada ummat Islam sebagai rakyat NKRI untuk tunduk dan taat kepada pemimpin. Arahan dan ajakan pun diapit ketat dengan dalil dari al-Qur’an dan hadist. Malangnya dalam masalah PT 20% ini mereka tidak melihat sebagai bagian dari masalah hukum dalam Islam ?
Saya mengajak MUI khususnya dan para alim ulama umumnya, terutama para akademisi kajian hukum Islam untuk membahas masalah ini. Berharap MUI, jangan sampai kecolongan lagi seperti kasus covid-19. Dimana diawal tahun 2020, berita cerobohdan para pejabat menganggap enteng malah mentertawakan masuknya Covid 19 ke Indonesia. MUI tidak menyeluarkan fatwa atau pernyataan yang seharusnya kepada pemerintah untuk berlaku sunguh-sunguh dan serius menutup pintu masuk dari luar negeri.
Seperti yang diajarkan oleh baginda Nabi dalam Hadist: Jika kalian mendengar adanya wabah di suatu negeri maka jangan kalian memasukinya dan apabila berlaku di negeri kalian maka janganlah kalian keluar. (HR: al Bukhori dan Usamah bin Zaid). Dengan tidak adanya fatwa dari MUI, maka semakin leluasa seorang menteri merekrut dan membiarkan tenaga kerja dari Cina yang merupakan asal wabah membanjiri Indonesia, termasuk melonggarkan jalur turis manca negara.
Lalu, ketika pemerintah memerlukan dukungan dan legitimasi secara hukum Islam dalam usaha memenuhi Herd Imunity dengan vaksinasi. Pemerintah meminta fatwa MUI terkait hukum penggunaan vaksin dan vaksinasi.MUI mestinya mengeluarkan fatwa untuk masalah PT 20 % yang merugikan hak pilih rakyat daripada akhirnya MUI disibukkan mengeluarkan fatwa untuk berbagai masalah akibat dari kebijakan pemerintahan yang mungkin akan merugikan bagi kekuasaan.
Penulis pada tulisan ini hanya menyampaikan pandangan umum sebagai peringatan kepada ummat Islam dengan harapan, perbincangan pada aspek hukum Fihq secara detil akan menjadi ruang diskursus bagi para alim ulama dan tokoh tokoh ormas serta MUI.
(###)