KedaiPena.com – Salah seorang nelayan yang tergabung dalam Front Kebangkitan Petani-Nelayan Banten (FKPN), Kholid Miqdar menyatakan pembangunan Proyek Strategis Nasional dalam PIK 2 dan pagar laut di perairan merupakan bentuk nyata pengkaplingan atau privatisasi sumber daya laut sebagai parampasan laut.
Selain itu telah terbit HGB di perairan pesisir Banten yang merupakan bentuk nyata privatisasi perairan.
“Tindakan ini menunjukkan bagaimana pemerintah membiarkan terjadi ketidakadilan sosial terjadi yang mengakibatkan nelayan kecil menjadi korban ketidakadilan karena akses dan kontrol atas laut dirampas,” kata Kholid dalam keterangan tertulisnya, Rabu (22/1/2025).
Ia menyebutkan pembiaran pemerintah dalam Proyek PSN PIK 2 dan Pagar Laut ini telah nyata melanggar hukum dan membiarkan korporasi mendapakan keistimewaan dibandingkan rakyat nelayan dan masyarakat pesisir Banten.
Atas rentetan kejadian di Banten ini. Kholid menyatakan bahwa FKPN menuntut lima hal. Pertama, laut kami jangan dikapling dan di privatisasi, lalu ditransaksikan. Kedua, tambak dan sawah kami jangan diurug untuk kepentingan pengusaha rakus tanah.
“Ketiga, kami rakyat negara Indonesia tidak ingin di kuasai dan dikendalikan oleh korporasi yang diistimewakan. Empat, kedaulatan negara tidak boleh kalah dengan Oligarki. Terakhir, jika instrumen negara tidak digunakan untuk mengurus kami, maka kami akan melawan sendiri korporasi itu,” kata Kholid tegas.
Program Officer EKOMARIN, Oktrikama Putra menyatakan sejak masalah PSN PIK 2 dan Pagar Laut muncul ke publik sejak Oktober 2024, seharusnya pemerintah baik daerah dan pusat telah turun tangan secara tegas.
Pengawasan laut pemerintah terlihat lemah tetapi sangat jelas Kementerian Kelautan dan Perikanan tidak melindungi laut dari perampasan dan pengkaplingan laut yang terjadi. Kementerian Kelautan dan Perikanan sebagai pihak yang memberikan izin dalam terbitnya hak atas tanah di perairan,” kata Oktrikama.
Peran Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono ataupun jajarannya, lanjutnya, terlihat jelas secara aktif memberikan izin ataupun rekomendasi membiarkan terbitnya HGB di perairan merupakan tindakan kejahatan perampasan laut.
Atas tindakan kesengajaan dengan adanya pembiaran tersebut, EKOMARIN bersama dengan FKPN Banten
menyatakan tindakan tersebut adalah pelanggaran konstitusi UUD 1945, dan hak asasi manusia salah satunya jelas melanggara Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 3/PUU-VIII/2010. Tindakan khusus dan mendesak adanya tindakan tegas hukum pidana terhadap terduga pelaku baik individu termasuk khususnya korporasi pelaku perampas laut.
Terduga pelaku terancam pidana dalam UU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan PulauPulau Kecil dalam Pasal 73 ayat (1) huruf g, dan Pasal 75 UU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
EKOMARIN pun memberi perhatian khusus atas sertifikat HGB di perairan seluas 300 hektar yang diterbitkan Kantor Pertanahan Kabupaten Tangerang.
“Terbitnya HGB di perairan pesisir ini menunjukkan pemerintah menganggap perairan serupa layaknya tanah pada kepulauan dan daratan,” ujarnya.
Merunut kebelakang, munculnya pengaturan HGB di perairan adalah untuk mengakui hak atas tempat tinggal masyarakat adat laut yang membangun di atas perairan. Tetapi melihat realitas yang terjadi di perairan pesisir provinsi Banten menunjukkan hal yang sebaliknya.
Hak guna bangunan tersebut di legitimasi oleh aturan turunan rezim UU Cipta Kerja/Omnibus Law dalam PP
18/2021 dan PP 43/2021. Dengan sebelumnya telah ada Permen ATR/BPN No. 17/2016 tentang Penataan
Pertanahan di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil menjadi legitimasi hukum terhadap HGB di perairan
tersebut.
Dalam Pasal 65 ayat (2) PP 18/2021, menunjukkan bahwa pemberian HGB tersebut diterbitkan oleh
perizinan dari Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Kemudian dalam Pasal 17 PP 43/2021 menunjukkan kontradiksi pengaturan karena memutihkan dan legalisasi pelanggaran adanya hak atas tanah yang diterbitkan di wilayah perairan.
Dalam “kewajiban memberikan ruang dan akses” kepada nelayan, pembudidaya ikan dan petambak garam yang menunjukkan pemerintah yang menerbitkan aturan tidak memahami realitas sosial ketimpangan kuasa antara nelayan dengan pemilik modal yang merupakan unequal treatment yang melanggar konstitusi UUD 1945.
Pasal 65 ayat (2) PP 18/2021 berbunyi: “Pemberian Hak Atas Tanah di wilayah perairan dilaksanakan berdasarkan perizinan yang diterbitkan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kelautan dan perikanan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”
Pasal 17 PP 43/2021 :
(1) Hak Atas Tanah yang diterbitkan di wilayah perairan sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah ini dinyatakan tetap berlaku.
(2) Pemegang Hak Atas Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memberikan ruang dan akses kepada nelayan, pembudidaya ikan, petambak garam, dan keselamatan pelayaran.
(3) Hak Atas Tanah dapat diberikan kepada Masyarakat yang telah memanfaatkan di wilayah perairan berdasarkan peraturan yang diterbitkan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kelautan dan perikanan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) Lihat Putusan MK No. 3/PUU-VIII/2010 Paragraf 3.15.12.
Laporan: Tim Kedai Pena