PEMERINTAHAN Jokowi selama ini gencar dalam pembangunan pembangkit listrik. Bahkan rakyat dipaksa menjual tanah untuk pengadaan proyek ini menggunakan Undang-undang no 2 tahun Tentang
 Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.
Sebagai contoh, petani di Batang, Jawa Tengah, tidak hendak melepaskan sawah pertaniannya untuk proyek listrik 2×1000 MW. Namun Pemerintahan Jokowi mendorong proyek yang sempat terkendala selama dua tahun soal pembebasan proyek.
Tentara dan kepolisian dikerahkan agar warga melepaskan tanahnya. Mekanisme yang kerap dilakukan pada masa pemerintahan Orde Baru diberlakukan, yakni pengembang proyek mengalokasikan duit ganti rugi ke pengadilan untuk diakses warga. Sementara itu, proyek tetap dijalankan.
Pemaksaan penjualan tanah untuk kelistrikan juga terjadi di Cirebon, dan Indramayu. Umumnya, proyek kelistrikan ini adalah pembangkit listrik batubara, sumber energi yang memiliki daya rusak lingkungan berupa pencemaran udara, air dalam skala luas.
Namun penerapan Undang-undang no 2 tahun 2012 tidak berlaku bagi semua kelompok. Hanya berlaku bagi kelompok kelas bawah yang bermata pencarian sebagai petani dan nelayan.
Pembangunan listrik energi terbarukan menggunakan tenaga angin di Pantai Samas, yang terletak antara Kabupaten Bantul dan Kulon Progo terancam batal dibangun. Proyek pembangkit listrik tenaga energi terbarukan ini sendiri telah diresmikan oleh Presiden Jokowi pada tahun 2015.
Proyek ini pun telah dimuat dalam RUPTL (Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik) yang dibuat oleh PLN. Rencananya akan ada 20 sampai 25 titik kincir angin di sepanjang kurang lebih 10 kilometer dari Pantai Samas Sanden sampai Sungai Progo secara keseluruhan mencapai kapasitas 50 MW.
Salah satu kendala pembangunan proyek ini adalah persoalan tanah yang sebagian besar merupakan tanah kesultanan.
Dengan demikian, pemerintahan Jokowi menerapkan Undang-undang No 2 tahun 2012 hanya kepada kelompok kelas bawah. Tidak kepada kelompok elitseperti kesultanan Jogyakarta.
Padahal Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia mengakui kepemilikan pribadi warga negara sebagaimana tercantum dalam Pasal Pasal 28H yang menyatakan bahwa : “Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-sewenang oleh siapapun.â€
Dengan kejadian ini, Pemerintahan Jokowi seharusnya menghentikan kebijakan sepihak pengadaan tanah untuk kepentingan investasi, termasuk investasi kelistrikan. Dan kembali harus menerapkan proses freeprior informed consent secara konsisten bagi warga pemilik tanah dan warga yang terdampak.
Warga memliki veto atas pelaksanaan proyek. Dengan kata kalian, pemerintah dan pelaksana proyek mengedepankan proses pemberian informasi yang lengkap tentang dampak proyek ke depan, dialogis tidak mengikutsertakan aparat bersenjata negara, dan bila warga pada akhirnya menyatakan sikap menolak proyek, maka sikap tersebut harus dihormati. Menghentikan proses jual paksa yang telah terjadi di beberapa proyek infrastruktur kelistrikan.
Khusus untuk pengembangan energi terbarukan di Samas, seharusnya kesultanan merelakan tanah kesultanan untuk pengembangan energi terbarukan. Sebab dengan menolak pengembangan proyek ini, berarti kesultanan mendapatkan listrik berbahan fosil dimana kesehatan masyarakat di sekitar pembangkit telah lama mengalami penurunan, sebagaimana terjadi di Indramayu, Cilacap.
Sangat disayangkan, kesultanan ambisius mendorong proyek yang memiliki daya rusak lingkungan besar seperti tambang besi di Kulonprogo, dan mengganggu ruang hidup rakyat seperti proyek Bandara di Kulonprogo, namun menghambat proyek pembagunganenergi terbarukan. Proyek energi energi terbarukan di Samas adalah langkah baik untuk mengurangi biaya kesehatan warga di sekitar wilayah pembangkit listrik bahan bakar batubara.
Oleh Pius Ginting, Koordinator Perkumpulan AEER (Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat)