SAYA telah membaca surat terbuka yang Anda tujukan kepada Amien Rais, ketua Dewan Pertimbangan PAN. Anda meminta agar Pak Amien mundur dari politik praktis karena Anda anggap dia melakukan manuver politik yang tak sejalan dengan prinsip-prinsip PAN.
Pak Goenawan Cs, yang terhormat! Sementara Anda mengirimkan surat terbuka kepada Pak Amien, saya memilih sebaliknya. Saya kirimkan surat tertutup ini kepada Anda semua. Sengaja tertutup, supaya terlihat berbeda dengan surat terbuka Anda itu. Bukankah Anda sekarang merasa berbeda dengan Pak Amien?
Oke. Setelah menyimak kembali prinsip-prinsip PAN seperti yang Anda uraikan, memang betul ada perbedaan besar antara Pak Amien dengan Anda berlima. Misalnya, prinsip pertama menyebutkan bahwa PAN adalah partai reformasi yang menjunjung tinggi kebebasan berpendapat dan menegakkan demokrasi setelah 32 tahun di bawah kekuasaan absolut Orde Baru.
Kalau dicermati prinsip pertama di atas, justru Pak Amien Rais menunjukkan bahwa beliau konsisten. Masih tetap teguh dengan prinsip reformasi yang memperjuangkan kebebasan berpendapat dan demokrasi. Sebab, pada era Jokowi sekarang ini kebebasan dan demokrasi itu sedang diotoriterkan oleh beliau.
Pak Amien melawan ini, sedangkan Anda berlima menyuruh Pak Amien mundur atau berhenti melawan kesewenangan. Sangat mengherankan kalau Anda berlima melihat Pak Amien bertindak tak sesuai prinsip reformasi.
Menurut hemat saya, yang Anda sebut kekuasaan absolut Orde Baru selama 32 tahun itu, sekarang bersemi kembali. Cuma, mungkin, karena Anda semua mengidolakan Jokowi, maka kesewenangan yang beliau lakukan menjadi tak terasa. Misalnya, Anda tak merasa media-media mainstream bulat-bulat dikooptasi oleh Jokowi.
Acara Reuni 212 yang menghadirkan berjuta-juta orang, tidak diberitakan oleh media-media besar. Gubernur Anies Baswedan (AB) mendapat sejumlah penghargaan, tak digubris. Tak diliput. Kondisi Jakarta yang lebih baik, didiamkan saja oleh media. Persija Jakarta menjadi juara liga semasa AB, juga disembunyikan. Padahal, selebrasinya berlangsung meriah.
Tak ada lagi berita positif tentang kegiatan oposisi. Semua serentak menjadi corong Jokowi. Bagaikan ada kendali kepada media untuk melakukan pengkhianatan terhadap ‘fair journalism’.
Bukankah semua ini bertentangan dengan prinsip PAN? Tentu saja iya. Tapi karena Anda mengidolakan Jokowi, semua itu tak terasa sebagai tindakan anti-demokrasi dan sewenang-wenang.
Kemudian, coba Anda tengok juga bagaimana para penguasa menyalahgunakan kepolisian. Jokowi menjadikan polisi sebagai alat untuk melindungi misi politik dia dan para pendukungnya. Seperti pada era Orde Baru, hari ini sangat jelas bahwa untuk kepentingan politik Jokowi, kepolisian pun terkooptasi juga.
Polisi begitu cepat dan sigap bertindak ketika mereka menangani dugaan pidana atau pengaduan pidana yang terduga atau tertuduhnya adalah para pegiat oposisi. Sebaliknya, Pak Polisi tak bersemangat menangani kasus-kasus yang dilaporkan oleh orang-orang yang berseberangan dengan Jokowi.
Kalau ada waktu dan minat, coba Anda amati tingkah-laku oknum-oknum kepolisian di kawasan pedesaan. Para oknum itu ikut menggiring-giring dukungan untuk Pak Jokowi.
Tempo hari, sekitar Agustus-September, jelas-jelas para petugas kepolisian ikut melakukan persekusi terhadap berbagai kegiatan deklarasi #GantiPresiden. Kegiatan yang legal dan demokratis ini dilakukan oleh para pendukung oposisi di sejumlah daerah.
Nah, bagaimana pendapat Pak Goenawan Cs tentang polisi yang ikut melakukan persekusi? Bukankah kondisi seperti ini sangat memprihatinkan? Tentu saja iya.
Tapi karena Anda mengidolakan Jokowi, semua itu tak terasa sebagai tindakan anti-demokrasi dan sewenang-wenang.
Terus, coba Anda perhatikan macam-macam ‘abuse of power’ (penyelewengan kekuasaan) yang dilakukan oleh Jokowi secara terang-terangan. Lihat bagi-bagi sertifkat tanah yang dilakukan pada masa kampanye pilpres saat ini.
Lihat juga tindakan beliau menggratiskan jembatan Suramadu. Bacalah berita-berita tentang “dukungan sukarela” dari para gubernur dan bupati kepada Jokowi.
Bukankah ini cara-cara Orde Baru yang telah kita koreksi, Pak Goenawan, Cs? Saya yakin kita sepakat bahwa rezim Jokowi meniru itu.
Tapi karena Anda mengidolakan Jokowi, semua itu tak terasa sebagai tindakan anti-demokrasi dan sewenang-wenang.
Itulah segelintir contoh tentang keotoriteran yang berkembang pesat saat ini, Pak Goenawan Cs. Pak Amien Rais berusaha menentang itu dengan segala daya upaya beliau. Heran sekali kalau Anda berlima tidak melihat keotoriteran itu sebagai penyimpangan dari prinsip reformasi PAN.
Terakhir, coba Anda semua amati fenomena perlawanan rakyat terhadap rezim yang juga sedang dilawan oleh Pak Amien. Di mana-mana anak-muda dan orang dewasa sengaja memamerkan ‘dua jari’ ketika ada sesi foto bersama Jokowi. Lihat juga kampanye-kampanye Jokowi, indoor atau outdoor, yang sering kosong. Banyak kursi kosong. Orang tak mau datang. Tengok juga foto-foto atau video tentang Reuni 212 belum lama ini.
Tidakkah semua ini membuktikan adanya ‘pendapat mutawatir’ di kalangan rakyat bahwa rezim yang ada ini sudah menyimpang dari semangat reformasi? Menyimpang dari prinsip PAN yang Anda sebutkan di surat terbuka Anda itu?
Tentu saja iya. Tapi karena Anda mengidolakan Jokowi, justru yang Anda katakan menyimpang adalah Pak Amien Rais. Padahal, beliau sekarang ini sedang berusaha untuk menghentikan antitesis reformasi yang dibangun oleh Jokowi. Yang dilakukan Pak Amien sekarang ini adalah mencegah rekonstruksi Orde Baru.
Kelihatannya, ini feeling saya saja, Anda semua tidak berkeberatan dengan cara-cara Orde Baru sepanjang itu dilakukan oleh Jokowi. Sepanjang itu cocok dengan selera Anda. Sepanjang itu bertujuan untuk menghancurkan moral bangsa. Sepanjang itu bertujuan untuk menyuburkan liberalisme; memberikan keleluasaan tumbuh-kembang kepada semua aliran dan gaya hidup yang akan menghancurkan umat beragama.
Sekian saja surat tertutup yang saya tujukan kepada Abdillah Toha, Albert Hasibuan, Goenawan Mohammad, Toeti Heraty, dan Zumrotin. Kalau surat ini akhirnya terbuka juga, itu pertanda rakyat tidak menginginkan kesewenangan penguasa berlanjut.
Oleh Asyari Usman, wartawan senior