Artikel ini ditulis oleh Anthony Budiawan, Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies).
Pemerintah akan mengganti mobil dinas pemerintah menjadi mobil listrik. Sesuai Instruksi Presiden No 7 Tahun 2022 tentang Penggunaan Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (Battery Electric Vehicle) sebagai Kendaraan Dinas Operasional dan/atau Kendaraan Perorangan Dinas Instansi Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.
Namun, alasan atau tujuan mengganti kendaraan dinas menjadi mobil listrik tersebut tidak dijelaskan.
Apakah karena total biaya operasional selama kepemilikan, atau yang dikenal dengan total cost of ownership, untuk mobil listrik lebih murah dibandingkan dengan mobil BBM (berbahan bakar minyak)?
Atau apakah mobil listrik lebih bersih dari mobil BBM, artinya emisi karbon mobil listrik lebih rendah dibandingkan mobil BBM?
Alasan yang mana, yang menjadi dasar keputusan pemerintah mengganti mobil dinas menjadi mobil listrik tersebut? Atau keduanya?
Menurut beberapa kajian di Amerika Serikat, biaya operasional dan kepemilikan mobil listrik tidak selalu lebih murah dari mobil BBM. Bahkan menurut kajian caranddriver.com, yang disampaikan dalam artikel ev vs gas cheaper to own di website mereka, yang membandingkan mobil listrik dengan mobil BBM, untuk merek dan jenis mobil yang sama, total cost of ownership (TOC) mobil BBM ternyata lebih irit dari mobil listrik.
Caranddriver.com membandingkan total biaya kepemilikan Mini Cooper Hardtop BBM dengan Mini (Cooper) Electric. Hasilnya, Mini Cooper BBM lebih irit $7.858 untuk total biaya kepemilikan selama 3 tahun. Belum termasuk insentif tax credit untuk mobil listrik, apabila ada. Total biaya kepemilikan tiga tahun Mini Cooper Hardtop BBM sebesar $41.454 versus Mini Cooper Electric sebesar $49.312.
Sedangkan selisih biaya kepemilikan selama tiga tahun untuk Hyundai Kona BBM (sebesar $39.817) versus Hyundai Kona Electric (sebesar $55.311) lebih besar lagi. Hyundai Kona BBM lebih irit $15.494.
Bagaimana di Indonesia? Apakah mobil listrik lebih irit? Jangan sampai keputusan mengganti mobil dinas dengan mobil listrik malah akan membebani APBN.
Belum lagi memperhitungkan devisa yang terkuras, karena mobil listrik harus diimpor dari luar negeri. Sedangkan mobil BBM diproduksi di dalam negeri.
Bukankah Presiden Jokowi sering mengatakan, betapa bodohnya kita harus impor terus, padahal ada produksi dalam negeri?
Atau, apakah mungkin keputusan mengganti mobil dinas pemerintah dengan mobil listrik karena emisi karbon mobil listrik lebih rendah, alias lebih baik, dari mobil BBM?
Pendapat ini juga tidak sepenuhnya benar, tergantung bagaimana listrik tersebut diproduksi, apakah menggunakan energi baru dan terbarukan (EBT) atau energi fosil seperti batubara, gas, solar?
Kalau porsi EBT dalam pembangkit listrik sangat besar, seperti di Selandia Baru yang mencapai 80 persen, maka emisi karbon mobil listrik pasti jauh lebih baik, atau lebih rendah.
Tetapi di Indonesia sangat beda. Indonesia bukan Selandia Baru. Bauran pembangkit listrik di Indonesia masih dikuasai energi fosil, khususnya batubara yang merupakan energi yang sangat kotor.
Pada tahun 2020, porsi EBT hanya 6,13 persen, dan tenaga air 8,04 persen. Sedangkan energi fosil batubara mencapai 64,27 persen, gas mencapai 17,81 persen dan BBM (solar) mencapai 3,01 persen.
Dengan komposisi bauran pembangkit listrik di Indonesia seperti ini, maka mobil BBM sepertinya jauh lebih bersih dari mobil listrik.
Maka itu, pemerintah seharusnya berupaya memperbesar porsi EBT di dalam bauran pembangkit listrik terlebih dahulu, sebelum memutuskan mengganti mobil dinas dengan mobil listrik, agar emisi karbon pembangkit listrik menjadi lebih rendah, dan emisi karbon mobil listrik lebih bersih dari mobil BBM.
Jangan sampai keputusan mengganti mobil dinas dengan mobil listrik seperti yang terjadi pada wacana konversi kompor gas ke kompor listrik, yaitu untuk menyerap surplus listrik PLN, dan sekaligus menciptakan proyek APBN?
[***]