KedaiPena.Com – Persoalan perekomian Indonesia terletak pada fundamental ekonomi yang masih lemah. Makanya daya tahan terhadap guncangan yang terjadi sebagai dampak dari tekanan global tidak kuat.
Hal ini disampaikan oleh Direktur Eksekutif Indef, Esther Sri Astuti pada diskusi publik dengan tema “Dilema Kabinet Prabowo dalam Bingkai Koalisi Besar”.
Diskusi ini diadakan secara hybrid melalui zoom meeting dan bertempat di ruang Granada, Universitas Paramadina Jakarta pada Kamis (11/7/2024).
“Oleh karena itu Pemerintah menyalahkan tekanan global sebagai penyebab lemahnya perekonomian domestik,” tuturnya.
Menurut analisa Esther yang juga dosen di Universitas Diponegoro, perlambatan perdagangan dunia turut membuat turun selisih antara ekspor dengan impor atau neraca perdagangan.
“Pada kuartal 1-2023, Indonesia mengalami surplus perdagangan sejumlah 14 miliar USD. Sedangkan pada kuartal pertama tahun 2024, surplus tersebut menurun jadi 9,8 miliar USD. Sementara harga komoditas ekspor utama Indonesia mulai menurun di pasar global,” ungkapnya.
“Tren utang Indonesia terus meningkat, bukan hanya dalam USD tapi juga dalam Rupiah yang dapat dilihat dari SBN. Sehingga membuat ketergantungan terhadap USD sebagai alat pembayaran semakin meningkat. Hal tersebut tidak diimbangi oleh generate income dalam bentuk USD, karena kapasitas ekspor terus mengalami penurunan,” kata Esther.
Esther memandang program makan siang gratis malah akan mendorong impor lebih tinggi. Melihat kondisi fiskal Indonesia sedang tidak baik-baik saja karena dari tahun ke tahun rasio utang punya tren meningkat, sementara income negara menurun sehingga membuat defisit fiskal melebar.
“Keberlanjutan fiskal berkelanjutan harus dibatasi, dengan stabilitas harga, PPN naik, BBM naik akan menggerus daya beli masyarakat, kemudian stabilitas nilai tukar harus diperhatikan dengan mengembangkan pariwisata, daya beli masyarakat harus dijaga agar tidak terjadi chaos,” sambungnya.
Ratio utang terhadap PDB yang mencapai sekira 40% jelas akan membawa persoalan sendiri bagi presiden terpilih Prabowo. Hal itu akan menyebabkan efektivitas jalannya pemerintahan ke depan menjadi sangat riskan.
Laporan: Ricki Sismawan