Artikel ini ditulis oleh Komisaris PLN, Eko Sulistyo
DI tengah krisis akibat pandemi Covid-19, Pemerintah Indonesia tak surut mendorong dan memajukan energi ramah lingkungan melalui pengembangan energi baru terbarukan (EBT). EBT merupakan pengelolaan energi dari proses alam yang berkelanjutan dan dijadikan sebagai energi alternatif.
EBT bersifat ramah lingkungan sehingga berkontribusi mengatasi pemanasan global dan mengurangi emisi karbon dioksida. Langkah nyata untuk realisasi EBT belum lama ini dilakukan oleh PT. PLN (Persero) yang merilis program kelistrikan dengan tagline Green.
Dari namanya, program ini selain ramah lingkungan juga berbiaya lebih ekonomis. Sebagai BUMN sektor energi listrik, PLN terus berkomitmen menyediakan energi listrik yang ramah lingkungan dan terjangkau bagi konsumen.
Bersama PT. Sarana Multi Infrastruktur atau SMI (Persero), PLN telah menandatangani Nota Kesepahaman kerjasama pengembangan EBT berbasis platform SDGs Indonesia One.
SDGs Indonesia One merupakan platform kerja sama pendanaan yang terintegrasi yang diinisiasi Kementerian Keuangan guna mendukung pembangunan infrastruktur untuk mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan.
Dalam kerjasama tersebut, PLN akan membangun pembangkit EBT sebesar 1.403 MW. Hal ini sejalan dengan penugasan PLN dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) Tahun 2019-2028, yakni membangun pembangkit EBT sebesar 3.459 MW.
Kerjasama dengan SMI akan membangun PLTA sebesar 904 MW, PLTP sebesar 360 MW, PLTB sebesar 100 MW, PLTM sebesar 38,2 MW dan PLTS sebesar 1,3 MW.
Mayoritas kapasitas pembangkit EBT, sebesar 783 MW akan dibangun di wilayah Indonesia Timur, dengan rincian di wilayah Maluku Papua sebesar 111 MW, Nusa Tenggara sebesar 25 MW, Kalimantan sebesar 496 MW dan Sulawesi 146 MW.
Total nilai pembangunan proyek pembangkit EBT diperkirakan sebesar 4,29 milyar dollar AS.
BUMN kelistrikan itu juga berencana mengonversi 2.130 pembangkit listrik tenaga diesel menjadi pembangkit yang menggunakan EBT sampai 2 gigawatt (GW). PLTD yang akan dikonversi adalah pembangkit yang sudah berusia 15 tahun, lokasi terpencil, dan memiliki biaya produksi yang tinggi.
Pada tahap pertama PLN akan mengonversi 200 lokasi PLTD dengan kapasitas 225 megawatt (MW). Tahap kedua konversi PLTD dengan kapasitas 500 MW, dan pada tahap ketiga dengan kapasitas 1.300 MW.
Selain itu diluncurkan pula Gerakan Konversi Satu Juta Kompor Elpiji ke Kompor Induksi (listrik). Konversi kompor ini akan menghemat anggaran subsidi elpiji yang telah dianggarkan sebesar Rp 50,6 Triliun pada APBN 2020.
Konversi ini juga meningkatkan ketahanan energi nasional karena mengubah penggunaan energi berbasis impor menjadi energi berbasis lokal.
Menurut hasil kajian teknis laboratorium Institut Teknologi PLN, untuk memasak 1 liter air dengan kompor induksi 1.200 watt sebesar Rp 158, sementara jika menggunakan kompor elpiji tabung 12 kg (api maksimal) sekitar Rp 176.
Langkah strategis selanjutnya untuk mendorong pertumbuhan pasar nasional EBT, PLN telah meluncurkan layanan Sertifikat Energi Terbarukan atau Renewable Energy Certificate (REC) sebagai respon untuk pengakuan atas penggunaan listrik yang bersumber dari EBT.
Layanan REC dapat menjadi instrumen untuk memenuhi target penggunaan EBT secara transparan.
Berdasarkan data kami, pada 2019 sektor komersial dan industri mengkonsumsi 52% listrik yang diproduksi. Disisi lain, beberapa pelaku di sektor tersebut memiliki permintaan yang makin tinggi untuk EBT sampai 100%.
Hal ini akan mendorong PLN untuk meningkatkan kapasitas pembangkit EBT guna memenuhi target bauran nasional sebesar 23% pada 2025.
Berbagai kebijakan dan proyek EBT ditujukan agar terjadi keadilan akses energi, harga terjangkau, dan ramah lingkungan. Pemerintah saat ini sedang menyiapkan Perpres agar akses energi berkeadilan dengan harga yang terjangkau oleh masyarakat.
Perpres ini nantinya dapat menjadi payung hukum untuk menjamin energi yang berkeadilan dan ramah lingkungan.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional, pemerintah menargetkan penggunaan EBT minimum 23% pada 2025 dan 31% pada tahun 2050.
Harus diakui, target untuk mencapai 23% EBT tidak mudah. Pandemi Covid-19 juga membuat tantangan kian berat akibat pertumbuhan ekonomi yang menurun.
Namun pemerintah melalui Kementerian ESDM dan BUMN terus mendorong pengembangan EBT yang telah menjadi bagian dari komitmen global.
Komitmen dan partisipasi Indonesia telah ditunjukkan dengan meratifikasi Protokol Kyoto menjadi UU Nomor 17 Tahun 2004 dan UU Nomor 16 Tahun 2016 tentang Pengesahan Paris Agreement.
Indonesia juga telah menyetujui Agenda Sustainable Development Goals (SDGs) melalui Perpres Nomor 59 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan.
Tujuan ketujuh dari SDGs memandatkan energi terbarukan, yakni “Memastikan akses terhadap energi yang terjangkau, dapat diandalkan, berkelanjutan dan modern bagi semua”.
Pemerintah melalui Kementerian ESDM telah membuat perencanaan untuk tujuan SDG’s energi dengan memastikan masyarakat memiliki akses energi yang terjangkau, handal, berkelanjutan, dan modern melalui kebijakan energi berkeadilan.
Kini kemajuan teknologi telah menurunkan biaya EBT bagi tiap orang. Investasi skala besar dalam EBT mulai menjadi fenomena umum seperti energi tenaga air, teknologi tenaga panas bumi, matahari dan angin.
[***]