TERTANGKAPNYA Basri, pimpinan MIT pengganti Santoso, bisa jadi akan mengawali kehancuran kelompok yang beroperasi di wilayah Poso dan sekitarnya itu, karena memang kelompok ini juga gak besar kok sebenarnya. Â
Kelompok Poso ini pasca Santoso tampaknya memang sudah kesulitan konsolidasi. Karena rapatnya gerakan pasukan Operasi Tinombala, akses mereka dengan dunia luar boleh dikata tertutup. Namun tentu saja jejaring yang selama ini berinteraksi dgn mereka, terkait komunikasi, suplai logistik dan personil masih aktif di luar poso. Ini yang harus diwaspadai. Dari dalam negeri, jejaring itu tetap lebih terkonsentrasi di Jawa dan Nusa Tenggara. Ini yang masih berpotensi aktif dan berkiprah di luar poso.Â
Nah untuk Nusa Tenggara ini yang perlu perhatian lebih serius lagi ke depan karena secara emosional kelompok Santoso dekat dengan daerah ini. Â Meski bukan berarti mengendorkan Jawa. Karena bagaimanapun target dan kantong-kantong simpatisan lebih besar disini. Sebagian besar mereka belum tertangkap dan peluangnya berkembang sangat besar jika pola penanggulangan terorisme kita masih seperti sekarang.
Program deradikalisasi misalnya, nyatanya tak menjangkau kelompok-kelompok rentan dan cenderung hanya bersifat seremoni saja.Â
Belum lagi soal kemampuan deteksi dini, yang tidak sampai pada stakeholders keamanan di level terendah dan terluar/terdepan.Â
Juga soal kewaspadaan masyarakat. Alih-alih memberi wawasan yang memadai tentang ancaman terorisme lalu bagaimana antisipasi dan respon yang diharapkan, informasi yang disampaikan seringkali malah hanya menimbulkan kepanikan, kegaduhan yang justru kontra produktif.
Penggunaan kata deradikalisasi saja dalam upaya pencegahan terorisme, menurut saya sudah tidak tepat. Selama ini kita mencoba menepis pandangan bahwa  terorisme identik dengan radikalisme agama. Namun para pemangku kepentingan penanggulangan terorisme justru lebih banyak merangkul kelompok-kelompik keagamaan besar dalam upaya deradikalisasinya.Â
Padahal, kalau kita melihat deretan nama-nama pelaku maupun orang-orang yang diduga/dinyatakan terlibat dalam aksi-aksi teror selama ini, adakah yang terafiliasi baik secara struktural maupun kultural dengan kelompok-kelompok dominan di Indonesia, NU atau Muhammadiyah misalnya?
Dalam kacamata kriminologi, terorisme sebenarnya lebih dikelompokkan dalam kejahatan karena kebencian (hate-crime) dan balas dendam. Pelaku (perorangan/kelompok), dalam persepsinya sering merasa dirinya adalah korban, yang teraniaya, tertindas, terpinggirkan atau dirugikan oleh kejahatan/perlakuan buruk negara atau bagian masyarakat yg lebih kuat dan berpengaruh. Teror bagi kelompok-kelompok ini adalah alat penyampai pesan yang efektif.
Terorisme menurut saya lebih relevan jika dikaitkan dengan fanatisme dan deprivasi relatif (kesenjangan antara harapan dan kenyataan). Radikalisme dalam aksinya lebih banyak berbentuk hate-speech, paling banter kemudian anarki. Nah soal deprivasi relatif, di Indonesia ini tak sulit menemukan bibit-bibit kesenjangan yang bisa dibudidayakan menjadi virus terorisme.Â
Di sini, praktik ketidakadilan dan diskriminasi masih marak. Lalu persoalan-persoalan ekonomi dan pendidikan juga belum beres. Orang patah hati, bankrut, kena PHK dan semacamnya, seringkali merasa sendirian. Menggerakkan mereka melakukan hal-hal negatif lebih mudah ketimbang orang-orang yang secara pondasi mental ideologinya kuat. Mereka dieksploitasi sedemikian rupa sehingga muncul fanatisme, yang meyakinkan mereka bahwa apa yang mereka perbuat adalah satu-satunya jalan keluar.
Nah apakah deradikalisasi menyentuh persoalan-persoalan itu? Mencegah terorisme dengan peningkatan kewaspadaan dini masyarakat hingga struktur terendah yakni keluarga, jelas tak cukup hanya dengan ceramah, pengajian apalagi sekedar sosialisasi satu malam.
Oleh Khairul Fahmi, Direktur Institute For Security and Strategic Studies (ISESS)