KedaiPena.Com – PROFAUNA Indonesia menghaturkan apresiasi terhadap usaha Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) yang dipimpin Siti Nurbaya dalam menangani perdagangan ilegal satwa liar.
Selain merugikan keuangan negara hingga Rp 1 triliun per tahun dari hasil perdagangan di pasar gelap, perdagangan satwa liar juga memiliki potensi mengganggu keseimbangan ekosistem, karena sebagian besar satwa liar yang diperdagangkan adalah hasil tangkapan dari alam.
Hal itu disampaikan Dr. Herlina Agustin, Aktivis PROFAUNA Jawa Barat dalam surat terbuka kepada Siti Nurbaya, dilansir KedaiPena.Com, Rabu (39/11).
“Kami sangat yakin bahwa orang-orang profesional yang berada di kementerian sudah faham mengenai hal tersebut,” ujarnya.
Namun keyakinannya selaku aktivis lingkungan menjadi goyah setelah mengetahui banyaknya masyarakat, termasuk pejabat tinggi negara, yang kedapatan memelihara satwa-satwa liar tersebut di kediamannya.
Seperti yang dipublikasikan dalam artikel investigasi sebuah media massa nasional pada tanggal 19 November 2017, beberapa pejabat tinggi negara yang ironisnya memiliki jabatan yang dekat dengan ranah hukum, diketahui memiliki berbagai macam satwa liar langka yang dipelihara di kediamannya masing-masing.
Tercatat dalam artikel tersebut nama-nama seperti Bambang Soesatyo, Ketua Komisi Hukum DPR RI dan Zulkifli Hasan, Ketua MPR RI yang juga pernah menjabat sebagai Menteri Kehutanan periode 2009-2014. Satwa yang dipelihara termasuk di antaranya burung-burung dilindungi seperti merak hijau, rangkong, kakatua jambul kuning, bahkan cenderawasih.
“Pada saat dipertanyakan mengenai kepemilikan tersebut, keduanya mengaku memiliki surat-surat perizinan yang lengkap untuk memelihara satwa-satwa tersebut. Hal ini merupakan sebuah kejanggalan, karena seharusnya izin memelihara satwa dilindungi hanya akan diberikan kepada lembaga konservasi atau tempat penangkaran resmi yang bertujuan untuk melestarikan keberadaan satwa-satwa tersebut,” sambungnya.
Peluang untuk mendapatkan izin bagi perorangan memang ada, namun dengan persyaratan tertentu. Salah satunya adalah hanya mendapatkan satwa kategori F2 yang berasal dari penangkaran resmi. Namun PROFAUNA juga melihat saat ini belum ada sisitem sertifikasi atas hasil penangkaran satwa yang dilindungi yang transparan, sehingga hal ini juga rawan terjadi penyimpangan.
“Yang lebih mengejutkan dan mengecewakan kami, investigasi tersebut juga mengungkap keberadaan burung kakatua yang dilindungi di kediaman ibu Siti Nurbaya. Di luar permasalahan ada atau tidaknya izin untuk memelihara burung tersebut, hal ini merupakan contoh yang buruk dari seorang pimpinan yang sedang menegakkan peraturan berkaitan dengan keberadaan satwa liar yang dilindungi di Indonesia,” kecewa dia.
Ini akan mengundang minat masyarakat luas untuk ikut memelihara satwa-satwa liar yang hampir punah dan seharusnya dibiarkan di alam liar untuk menjaga ekosistem.
“Berkaitan dengan itu, kami menyatakan keterkejutan dan kekecewaan kami atas sikap ibu sebagai Menteri LHK yang kami nilai telah menyederhanakan masalah pemeliharaan satwa liar dilindungi ini menjadi sekedar masalah perizinan. Asal ada izin maka boleh saja memelihara,” ia menambahkan.
Sebagai pimpinan lembaga negara yang terkait dengan pelestarian lingkungan, PROFAUNA berpikir bahwa Menteri Siti mengetahui filosofi di balik perizinan tersebut, yang berujung kepada upaya melestarikan keberadaan satwa-satwa penyangga keseimbangan alam.
Perizinan tersebut dibuat bukan hanya sekedar untuk melindungi aset negara yang dinilai dengan uang. Lebih jauh dari itu, peraturan perlindungan satwa liar ini dibuat untuk melindungi alam tempat manusia hidup.
“Oleh karena itu, kami meminta ibu untuk memberikan contoh yang tepat kepada masyarakat dengan menyerahkan satwa liar yang ada di kediaman ibu kepada negara. Selanjutnya kami berharap satwa-satwa tersebut direha ilitasi agar bisa kembali dilepas ke habitat alaminya. Selain itu, kami juga meminta ibu untuk kembali menggiatkan penegakan hukum terhadap perdagangan dan kepemilikan ilegal satwa liar yang dilindungi,” tandas dia.
Laporan: Ricki Sismawan