KedaiPena.com – Mengenang sosok Faisal Basri, Ekonom Senior Prof Dr Didin S Damanhuri menyebutkan momen yang paling berkesan adalah saat perkenalan pertama kali di ruang Dr Dipo Alam pada tahun 1995, yang kala itu menjabat sebagai Deputi Menko Perekonomian. Faisal Basri ketika itu baru saja pulang dari Amerika Serikat.
Ia pun menyampaikan Institute for Development Economicof Finance (INDEF) sendiri pertama kali didirikan ketika kontak intens dengan Prof Dr Didik J Rachbini yang membahas ide sebuah lembaga riset lingkungan hidup yang mengatakan perlunya didirikan sebuah lembaga think tank soal ekonomi di Indonesia, di tahun 1995.
“Ide mendirikan lembaga think tank itu lalu bergulir dengan mendirikan lembaga INDEF. Ketika itu diingatkan akan seorang tokoh ekonom dari UI (Faisal Basri). INDEF kemudian mengangkat topik pertama yang mengangkat tema Membongkar Subsidi Terselubung kepada Industri gandum,” kata Prof Didin, saat diskusi dan peresmian Ruang Baca Faisal Basri di Kantor INDEF Jakarta, ditulis Sabtu (8/2/2025).
Saat itu, diskusi tersebut didukung oleh data-data dari lembaga riset kementerian keuangan oleh Prof Fadhil Muhammad. Data tersebut kemudian direkonstruksikan dalam perspektif ekonomi politik.
“Saat itu, ditemukan fakta bahwa rakyat mensubsidi impor yang dimiliki kelompok Salim Group 760 miliar Dollar Amerika atau Rp8,3 triliun per tahun. Subisidi rakyat itu diberikan kepada importir yang statusnya hampir monopsonistik atau pengimpor tunggal,” tuturnya.
![](https://assets.kedaipena.com/images/2024/07/Resizer_17212578687263.jpeg)
Prof Didin menyebutkan bahwa pembahasan tersebut menjadi headline seluruh surat kabar. Padahal ketika itu Pak Harto sedang di puncak kekuasaan. Ekonomi Indonesia juga disebut sebagai New Industrial Country (Asian Miracle) yang berjumlah 9 negara, bersama Jepang, Thailand, Malaysia.
“Tapi, ketika itu Indonesia sebenarnya agak rapuh karena diisi oleh industri dan pelaku usaha yang masuk kategori Erzats Capitalism (kapitalisme semu) karena banyak entrepreneur yang makan subisidi negara, bahkan disubsidi oleh rakyat,” tuturnya lagi.
Sebagai salah seorang dari 4 pendiri INDEF, Guru Besar IPB ini menyebutkan, kelebihan ekonom Faisal Basri yang tidak miliki oleh ekonom Indonesia lainnya adalah soal keberaniannya. Hal tersebut karena Faisal Basri di-back up oleh latar belakang teori dan data yang sangat kuat.
“Sejak itu kritisisme Faisal Basri bersama INDEF tidak pernah henti untuk mengritik sangat tajam segala kebijakan ekonomi yang dianggap menyimpang di era Soeharto, Habibie, Megawati sampai era Jokowi,” kata Prof Didin.
Dimata Prof Didin, Faisal Basri adalah sosok yang sangat anti korupsi, anti ketidakadilan, dan sangat anti tatakelola yang buruk.
“Semua pemerintahan di Indonesia akan dikritik dengan tajam perihal 3 hal tersebut. Salah satu yang monumental adalah ketika Faisal Basri dipercaya untuk menjadi ketua Satgas pembenahan tata kelola migas. Hasilnya, Indonesia tidak lagi mengimpor minyak lewat PES (Pertamina Energy Service) dan digantikan oleh ISC (Integrated Supply Chain). Dan juga mengganti seluruh manajemen Petral dan ISC, serta dilakukan audit forensik atas tata kelola yang buruk di Petral. Untuk membongkar potensi pidana. Temuan-temuan itu lalu ditindaklanjuti oleh Sudirman Said, yang saat itu menjabat sebagai Menteri ESDM dan Dirut Pertamina,” tandasnya.
Laporan: Ranny Supusepa