KedaiPena.com – Dewan Pimpinan Wilayah Partai Rakyat Adil Makmur (DPW PRIMA) Papua mendesak kepada pemerintah atau pihak terkait untuk mengusut tuntas penggunaan bahan peledak mortir yang dilakukan oleh Badan Intelijen Negara (BIN) dalam penanganan konflik di wilayah setempat.
Ketua DPW PRIMA Papua, Everitus Kayep mengatakan, laporan dari Conflict Armament Research (CAR), kelompok pemantau senjata yang berbasis di London, yang mengungkapkan bahwa BIN menggunakan 2.500 mortir dari Serbia yang dijatuhkan ke desa-desa di Papua pada tahun 2021 harus diungkap kebenarannya.
“Hasil investigasi CAR harus diusut tuntas supaya terang benderang kebenarannya,” kata Everitus dalam keterangan resminya di Jayapura, Papua, Senin (6/6).
Ever menduga penggunaan mortir tersebut tidak hanya dilakukan sepanjang tahun 2021 saja, melainkan bahan peledak itu sudah digunakan dalam memberangus basis-basis Tentara Pembebasan Nasional Organisasi Papua Merdeka (TPN-OPM) semenjak tahun 2019 silam.
Ia mencontohkan, kasus peledakan bom fosfor sempat heboh di Papua meski hal itu dibantah oleh pemerintah. Untuk itu, Ever mendesak agar laporan tersebut segera diusut dan pihak-pihak yang menyalahgunakan kekuasaan dapat dihukum seberat-beratnya.
“Warga setempat mengatakan serangan udara terjadi di beberapa kampung distrik Kiwirok pada 14-21 Oktober 2021. Warga bercerita bahwa sekitar 50-an bom dijatuhkan di kampung, yakni di Kampung Pelebib, Kampung Kiwi, Kampung Delpem, dan Kampung Lolim,” ujar politisi PRIMA asal Suku Muyu itu.
Sementara itu dalam kesempatan berbeda, Juru Bicara PRIMA khusus Papua, Arkilaus Baho, meminta agar BIN segera menjawab atau memberikan klarifikasi atas laporan tersebut.
Sebab, menurut dia, BIN tidak memiliki kewenangan penggunaan senjata berdaya ledak seperti mortir. Selain itu, harus ada pertanggungjawaban dari pihak terkait dalam aksi yang berujung pada pemusnahan orang asli Papua (OAP) tersebut.
“BIN harus mempertanggungjawabkan perbuatannya terkait aksi penggunaan mortir itu. Harus dibuka terang benderang, usut sampai tuntas, jangan ada yang ditutupi,” imbuhnya.
Arki menyampaikan, adanya laporan investigasi itu memberikan fakta baru bahwa BIN sebagai lembaga negara sudah tidak berdaya dalam penanganan konflik di provinsi paling timur Indonesia itu.
“Pendekatan bersenjata dalam menyelesaikan persoalan Papua tak menyelesaikan masalah. Pendekatan humanis, kesejahteraan dan kultur yang tidak berdaya rusak harus segera dilakukan,” ucapnya.
Arki berujar, sejak awal PRIMA dan kelompok sipil lainnya sudah menekankan agar pemerintah mengedepankan pendekatan persuasif yang berbasis pada kemanusiaan dan kebangsaan dalam penanganan konflik di Papua.
“Merajut Papua sebagai salah satu bangsa dalam bingkai NKRI adalah pendekatan nilai-nilai Pancasila. Kami (PRIMA) punya jalan penyelesaian konflik secara permanen, yaitu Dewan Rakyat Papua (DRP),” tutupnya.
Untuk informasi, kelompok pemantau senjata yang berbasis di London, Conflict Armament Research (CAR) dalam laporan yang kini di publis secara luas itu, menuding Badan Intelijen Negara (BIN) membeli nyaris 2.500 mortir dari Serbia untuk agen mata-mata RI di Papua dan dijatuhkan ke desa-desa di wilayah wilayah konflik pada 2021.
Konflik kian memanas dan berdampak pada operasi keamanan negara besar-besaran Tahun 2021, mengakibatkan 282 pengungsi asal Kiwirok dan sekitarnya. Komnas HAM Papua mencatat sekitar 3.019 orang pengungsi di Kabupaten Puncak. Lebih dari 600 orang dilaporkan mengungsi di Gereja Katolik St Misael Bilogai, Intan Jaya. Tahun 2019, data yang dihimpun oleh Tim Solidaritas untuk Nduga, mencatat sedikitnya 5.000 warga Nduga mengungsi dan 139 di antara mereka meninggal dunia.
Laporan: Hera Irawan