KAMIS 18 Juli 2019, Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita mangkir untuk yang ketiga kalinya dari panggilan KPK. Sebelumnya, juga mangkir dari panggilan pertama dan kedua, 2 dan 8 Juli 2019. KPK yang sudah tidak digubris sebanyak tiga kali, tidak berbuat apa-apa.
Selasa 23 Juli 2019, Tengku Munirwan, Kepala Desa (Keuchik) di Meunasah Rayeuk, Kecamatan Nisam, Kabupaten Aceh Utara, ditangkap Polda Aceh. Dinas Pertanian dan Perkebunan Aceh melaporkannya terkait penyebaran bibit padi unggul IF8 hasil inovasinya kepada komunitas petani di wilayah Kabupaten Aceh Utara. Pemda berdalih bibit tersebut belum bersertifikasi.
Jumat 26 Juli 2019, KPK melakukan OTT terhadap Bupati Kudus M. Tamzil. Kasus jual beli jabatan. Barang bukti yang diamankan berupa uang Rp. 170 juta. Paginya, status M. Tamsil ditetapkan menjadi tersangka. Bahkan KPK berwacana menuntut dengan hukuman mati, karena sebelumnya M. Tamzil pernah terlibat kasus korupsi.
Nasib Tengku Munirwan dan M. Tamzil tak seindah nasib Enggartiasto Lukita. Keduanya harus mengalami proses hukum yang cepat, untungnya Tengku Munirwan sudah ditangguhkan penahanannya.
Dan entah kapan kasus Enggartiasto akan diproses??
Tidak Tahu Malu
Pembangkangan Enggartiasto terhadap panggilan KPK adalah wujud buruk perilaku pejabat tinggi. Bila dibiarkan bisa ditiru pejabat lainnya. Dan akhirnya bisa meruntuhkan wibawa KPK.
Dalam sejarahnya, KPK dilahirkan sebagai solusi mengatasi lambannya pemberantasan korupsi. KPK dibekali seabrek instrumen pemaksa. Namun setelah pembangkalan tiga kali oleh Enggartiasto, taring KPK seakan copot seketika.
Mestinya sebagai pejabat tinggi, Enggartiasto memberikan keteladanan. Bukan memelopori pembangkangan. Perilaku Enggar beda jauh dengan menteri-menteri di luar negeri.
Misalnya baru-baru ini di Perancis, seorang menteri Prancis Francois de Rugy yang merupakan salah satu orang terdekat dari Presiden Emmanuel Macron mengundurkan diri setelah muncul laporan yang menuduhnya makan malam lobster dengan dana negara.
Bandingkan dengan Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita, meskipun sudah dibeberkan oleh Bowo Sidik Pangarso sebagai pihak pemberi suap Rp. 2 milyar, namun tetap menolak diperiksa KPK. Tidak tahu malu!!!
Menteri Jokowi di Pusaran Korupsi
Selain Enggartiasto, ada dua menteri lainnya yang sedang diproses KPK yakni Menpora Imam Nahrowi dan Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin.
Kedua menteri tersebut bisa dikatakan sudah kooperatif. Meskipun keduanya hingga kini belum ditetapkan sebagai tersangka. Namun kesediannya memenuhi panggilan KPK patut diapresiasi. Tinggal KPK berani tidak menaikkan statusnya menjadi tersangka.
Hanya Enggarlah yang menunjukkan kearogansiannya. Kedudukan sebagai menteri dijadikannya tameng untuk selalu menghindar dari KPK. Sudah 3 kali Enggar melecehkan panggilan KPK.
KPK Harus Tegas
Pembangkangan Enggartiasto bukan sepenuhnya salah yang bersangkutan. Sebagai pihak yang dituduh, dirinya memang berhak membela diri. Mestinya, bila menghadapi pejabat bandel, maka KPK lah yang harus bertindak super tegas.
KPK harusnya instropeksi, bukankah selain dugaan penyuapan kepada Bowo Sidik, Enggar juga disorot dalam kasus impor pangan (beras, gula, garam, dan lain-lain). Setidaknya ada dua orang pakar ekonomi yang selalu bicara keras soal impor pangan, yaitu Rizal Ramli dan Faisal Basri.
Bahkan Rizal Ramli sudah mendatangi KPK pada 23 Oktober 2018, untuk melaporkan kasus impor pangan yang nilainya berpuluh kali lipat dari kasus impor sapi yang pernah ditangani KPK.
Sedangkan Faisal Basri, meskipun belum ke KPK, tapi sudah memaparkan secara tegas di lapak medsosnya dan juga ke media, tentang adanya perburuan rente dalam impor pangan. Bahkan pada 13 Februari 2019, Faisal Basri menuding Enggartiasto mendapatkan triliunan dari tiga komoditas pangan yang diimpor, lezat.
Sekarang semuanya kembali kepada KPK, mau menjadi macan yang mengaum atau kucing yang mengeong. Kasus OTT Bupati Kudus bisa diumpamakan seekor kucing yang memakan tulang-tulang ikan.
Bila komisioner KPK di bawah kepemimpinan Agus Rahardjo ingin dikenang sebagai pendekar-pendekar pemberantasan korupsi yang hebat, maka harus berani mengusut kasus impor pangan, menyeret Enggartiasto ke KPK dan menetapkannya sebagai tersangka.
Oleh Sya’roni, Ketua Presidium Prima (Perhimpunan Masyarakat Madani)