Artikel ini ditulis oleh Arief Gunawan, Pemerhati Sejarah.
Dalam risalah BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) yang menghasilkan UUD ‘45 tidak ada pembahasan tentang ambang batas pencalonan presiden.
Demikian pula di dalam isinya. Ambang batas pencalonan presiden tidak dikenal. Istilah presidential treshold juga tidak dikenal.
Secara semantik saat itu bahasa Inggris tidak lazim dipakai oleh para anggota sidang BPUPKI yang terdiri dari para elit bangsa, yang dalam keseharian berkomunikasi menggunakan bahasa Belanda.
Presidential treshold muncul setelah Undang-Undang Dasar ‘45 diamandemen yang menyebabkan berubahnya sistem pemilihan presiden.
Pertamakali digunakan pada Pilpres 2004 dengan presidential treshold 10 persen yang kini naik 20 persen.
Peraturan di dalam Undang-Undang Pemilu ini esensinya hasil akal-akalan partai politik yang berkombinasi dengan kepentingan para cukong.
Presidential treshold dijadikan alat untuk mencari uang oleh partai politik, karena calon yang mereka dukung dimintakan uang mahar.
Sedangkan uang mahar didapat calon dari para cukong yang juga punya kepentingan untuk kelancaran bisnis dengan mendompleng kekuasaan politik.
Siklus ini menghasilkan politik uang, yang melahirkan Demokrasi Kriminal seperti yang terjadi sekarang.
Partai politik tidak mengedepankan pentingnya integritas dan kapasitas figur calon, yang terpenting bagi mereka adalah “isi tas” (uang) yang diberikan oleh calon.
Pada kenyataannya presidential treshold di bawah penguasaan oligarki ini juga menjadi alat jegal bagi figur-figur yang memiliki integritas, prestasi, track record, dan memiliki ciri problem solver untuk memimpin bangsa.
Lalu bagaimana kisah Sukarno naik menjadi presiden?
Sukarno-Hatta dipilih jadi presiden dan wakil presiden karena aklamasi, dalam rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).
Aklamasi diusulkan oleh Otto Iskandar Di Nata, yang kemudian disetujui seluruh peserta rapat.
Pembahasan tentang presiden dalam sidang BPUPKI perdebatannya lebih banyak pada persoalan istilah.
Profesor Soepomo yang merupakan salah satu arsitek UUD ‘45, misalnya, pada sidang 31 Mei ‘45, lebih menekankan pentingnya Kepala Negara memiliki jiwa bersatu dengan rakyat.
Ia tidak mempersoalkan suara-suara sidang yang mengusulkan agar dipakai istilah seperti Paduka Yang Mulia, Adipati, Fuhrer, atau Sri Paduka untuk menyebut Kepala Negara. Yang kemudian penyebutannya disepakati menjadi presiden.
Sementara itu jabatan wapres diperdebatkan berkaitan dengan adanya usul agar dipegang oleh dua atau tiga orang, yang masing-masing mewakili wilayah Indonesia.
Namun perdebatan akhirnya menyepakati posisi wapres dijabat oleh satu orang.
Tentang syarat dan kewajiban presiden, Prof. Soepomo kembali menekankan, presiden harus sanggup memimpin seluruh rakyat yang terdiri dari berbagai golongan masyarakat.
Harus mempersatukan negara dan bangsa, serta mampu menyelenggarakan kehendak rakyat.
Memberikan gestaltung (tata letak) kepada keinsafan keadilan rakyat, karena sehari-hari kedaulatan rakyat dijunjung oleh presiden.
Dalam menjalankan pemerintahan, kekuasaan dan tanggungjawab, berada di tangan presiden.
[***]