Artikel ini ditulis oleh Arief Gunawan, Pemerhati Sejarah.
Di tahun-tahun menjelang proklamasi kemerdekaan Indonesia hanya memiliki 400 orang lulusan sekolah tinggi yang kebanyakan berasal dari sekolah kedokteran.
Sedangkan lulusan sekolah hukum (Rechtsschool) yang didirikan pada 1909 sampai 1928, hanya 189 orang.
Sebagian melanjutkan studi ke Belanda. Sebagian lagi meneruskan ke Rechtshogeschool (sekolah tinggi hukum) di Batavia.
Jawatan urusan kemahasiswaan Hindia Belanda misalnya mencatat mahasiswa Indonesia yang menempuh pendidikan di Belanda pada akhir tahun 1924 adalah sebanyak 673 orang.
Di antaranya ialah para mahasiswa hukum seperti Profesor Soepomo, Achmad Soebardjo, Ali Sastroamidjojo, dan beberapa nama lain.
Mereka umumnya mendisiplinkan diri dan mematangkan pengetahuan dalam studi yang mereka pilih dengan menjauhi glamouritas. Dengan ilmu hukum yang didalami mereka kemudian menjadi apostel (pencerah) bagi bangsanya sendiri.
Salah satu ciri yang menonjol dari generasi para ahli hukum ini ialah kemampuan mereka dalam menciptakan konsepsi hukum baru, yaitu Undang-Undang Dasar 1945, dan kelincahan berpikir serta kemampuan yang tak terbatas dalam mencari kebenaran.
Untuk dapat seperti ini mereka harus lebih dulu memahami Volkgeist (Jiwa Bangsa).
Volkgeist ialah cerminan kondisi kejiwaan dari para elit yang sedang berkuasa dalam memperlakukan hukum.
Sakit-tidaknya kondisi kejiwaan sebuah bangsa menurut ahli hukum Jerman, Friedrich Carl Von Savigny, dapat dilihat dari Volkgeist-nya.
Selain memahami Volkgeist para ahli hukum pada masa itu juga mendengarkan dan menangkap perasaan yang berkembang di sanubari rakyat yang menginginkan keadilan dan perubahan bangsanya ke arah yang lebih baik.
Singkatnya, mengutip pernyataan tokoh nasional Dr Rizal Ramli, mereka tidak mengedepankan sikap congkak, tidak partisan, dan tidak sok jago, seperti yang diperlihatkan oleh para hakim Mahkamah Konstitusi dalam argumentasi mereka mempertahankan Presidential Treshold 20 persen yang merupakan benteng oligarki untuk mencetak capres-capres boneka.
Ali Sastroamidjojo di dalam biografinya, Tonggak-Tonggak di Perjalananku, menceritakan pengalamannya sebagai mahasiswa fakultas hukum di Leiden, Belanda, yang tetap diperlakukan secara terhormat oleh para Guru Besar saat menghadapi ujian akhir, meski berstatus sebagai tahanan politik.
“Semua Guru Besar Hukum yang termasyhur di Belanda pada masa itu seperti Profesor Vollenhoven, Andre De La Porte, dan Profesor Hazeu, hadir. Ujian universiter ini dijaga oleh dua polisi rahasia. Selama dua jam saya harus menjawab pertanyaan-pertanyaan para Guru Besar. Namun pertanyaan-pertanyaan itu tidak sedikitpun menyudutkan saya sebagai seorang tahanan politik. Mereka bersikap dan bertindak secara ilmiah semata-mata”.
Sikap tidak partisan para Guru Besar ini adalah ciri utama ilmuwan-akademisi sejati. Lebih-lebih sebagai ahli hukum yang memang harus mampu bersikap obyektif dan menjaga rasa keadilan. Ketimbang bersikap congkak sebagai bangsa penjajah.
Di zaman raja-raja dulu tatkala infrastruktur berupa gedung-gedung pengadilan belum didirikan oleh pemerintah kolonial Belanda, cita rasa pengadilan sangat bernuansa feodalistik, karena umumnya dilaksanakan di serambi keraton.
Dengan kedudukan rakyat sebagai simbol yang lemah, sedangkan aparatur hukumnya dalam posisi bagaikan dewa kebenaran.
Ciri feodal, congkak, dan partisan ini pulalah yang terpancar dari sembilan tiang penyangga ala Romawi yang terdapat di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jalan Medan Merdeka Barat.
Di situlah bersemayam sembilan pelayan oligarki yang merupakan pembela utama Presidential Treshold 20 persen.
Hakim-hakim ini mengingkari bahwa Presidential Treshold tidak ada di dalam Undang-Undang Dasar 1945, dan di 48 negara sistem seperti itu sudah lama dibuang.
Presidential Treshold bukan saja membuat demokrasi di negeri ini semakin mundur, tidak adil, dan ketinggalan zaman, pemberlakuannya juga menunjukkan para hakim Mahkamah Konstitusi tersebut tidak punya kapasitas dalam menjalankan hukum sesuai amanat konstitusi (UUD ‘45).
Di banyak negara tanpa sistem Presidential Treshold pemilihan presiden umumnya berlangsung demokratis dalam dua putaran.
Di sana Pilpres jadi sarana untuk menghasilkan pemimpin terbaik, dengan kriteria mencakup integritas, track record, keberpihakan kepada mayoritas rakyat, dan kemampuan problem solver.
Di sini hanya menghasilkan pemimpin boneka yang naik ke tampuk kekuasaan melalui pencitraan. Tanpa kapasitas dan keberpihakan kepada mayoritas rakyat, serta hanya menghasilkan ceceran kerusakan di berbagai sektor.
Presidential Threshold yang disiasati oligarki (para cukong dan partai politik greedy) melalui Undang-Undang Pemilu hanya akan menjadikan Indonesia selamanya terbelakang, karena tidak berkorelasi dengan kepentingan mayoritas rakyat selain kepentingan oligarki itu sendiri.
Tentang hakim-hakim bertabiat congkak, partisan, dan sok jago, teringatlah saya kepada perkataan bijak ahli hikmah dengan petuahnya, bahwa salah satu yang diharamkan masuk surga kelak adalah hakim yang tidak adil saat menjalankan amanatnya sebagai Wakil Tuhan di muka bumi.
[***]