Artikel ini ditulis oleh Arief Gunawan, Pemerhati Sejarah.
Di tahun ‘70-an terjadi perdebatan sengit di antara Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia tentang rencana pemberian gelar Doktor Honoris Causa kepada Bung Hatta.
Para Guru Besar yang umumnya berfaham neoliberal menolak rencana itu.
Mereka berpendapat teori ekonomi Bung Hatta sudah ketinggalan zaman. Meski faktanya Bung Hatta adalah peletak dasar perekonomian nasional, khususnya Pasal 33 UUD ‘45 dan juga merupakan Bapak Koperasi Indonesia.
Profesor Sri-Edi Swasono yang waktu itu menjabat Pembantu Rektor III bermaksud membantah alasan penolakan itu. Namun niatnya ini ia batalkan lantaran tidak ingin dianggap menjadi persoalan personal mengingat dirinya adalah menantu Bung Hatta.
Demikianlah akhirnya, gelar Doktor Honoris Causa tetap diberikan kepada Bung Hatta, tetapi bukan untuk bidang ekonomi, melainkan untuk bidang hukum konstitusi.
Konon, hingga akhir hayatnya Proklamator RI itu tidak pernah mengetahui kisah penolakan Universitas Indonesia yang enggan memberikan gelar Doktor Honoris Causa bidang ekonomi kepada dirinya.
Sebagai ekonom, politisi, diplomat, dan juga tokoh yang menjunjung tinggi Rechsstaat (negara hukum) Bung Hatta selalu menekankan pentingnya Daulat Rakyat.
Suatu hari di tahun 1932 dalam artikel Ke Arah Indonesia Merdeka, ia menulis:
“Asas kerakyatan mengadung arti bahwa kedaulatan ada di tangan rakyat. Hukum haruslah bersandar pada perasaan keadilan dan kebenaran yang hidup di dalam hati nurani rakyat.”
Undang-undang Dasar 1945 (yang asli) menurutnya adalah bentuk hukum yang memungkinkan tersalurnya kedaulatan rakyat terutama dalam bidang politik dan ekonomi, untuk mencapai demokrasi yang berkeadilan termasuk dalam memilih pemimpin yang sesuai dengan kehendak rakyat.
Sejak tahun ‘30-an ia telah banyak menyampaikan pokok-pokok pikiran tentang demokrasi yang berkeadilan dan pentingnya mengedepankan Daulat Rakyat menggantikan Daulat Tuanku, yang dalam konteks hari ini Daulat Tuanku tak lain adalah Oligarki.
Yaitu kekuasaan yang terpusat kepada Segelintir Tuan (para cukong/para taipan) yang dengan penguasaan uang telah membajak demokrasi di negeri ini untuk kepentingan mereka sendiri. Termasuk dalam hal pemilihan presiden, melalui instrumen akal-akalan yang sama sekali tidak ada di dalam Undang-Undang Dasar ‘45, bernama Presidential Treshold.
Dengan instrumen ini mereka mampu mencetak capres-capres boneka dan presiden boneka seperti yang sedang berlangsung saat ini.
Tjokroaminoto sendiri di tahun 1914 telah menulis satu artikel berjudul Rechtspersoon yang menekankan pentingnya Daulat Hukum di dalam Daulat Rakyat. Tulisan ini telah menyulut kemarahan para pembesar kolonial Belanda kala itu, karena menuntut kebebasan rakyat dalam memilih pemimpin sendiri, kebebasan berserikat, dan kebebasan menyatakan pendapat.
Demikianlah hari ini cita-cita para pendiri bangsa tentang pentingnya Daulat Rakyat telah dikhianati oleh oligarki yang mengubah Rechtsstaat (negara hukum) menjadi Machtsstaat (negara kekuasaan).
Selama beberapa Pilpres belakangan ini Presidential Treshold telah menjadi pintu masuk bagi praktek Demokrasi Kriminal. Karena pemilihannya didasari oleh kekuatan uang yang dibiayai oleh para cukong dan para taipan. Sifatnya yang transaksional ini telah melahirkan para calon presiden yang bertumpu pada dukungan uang dan pencitraan. Bukan berbasis pada integritas, track record, prestasi, dan kemampuan problem solver.
Celakanya lagi para capres yang hanya bermodalkan pencitraan itu, di antaranya gubernur dan menteri, adalah merupakan anasir korup yang terlibat dalam kasus uang najis E-KTP, kasus PCR, kasus kartu Prakerja, dan praktek tercela lainnya.
Dalam konteks ini langkah sejumlah aktivis pergerakan Poros Nasional Pemberantasan Korupsi (PNPK) yang membawa kembali kasus mereka ke KPK menjadi sangat relevan, supaya rakyat tidak lagi terus menerus dibodohi dan ditipu oleh permainan pencitraan para capres boneka-korup tersebut yang merupakan binaan oligarki.
Praktek oligarki yang menginginkan lahirnya capres-capres boneka bukan saja akan melanggengkan malapetaka demokrasi seperti hari ini, tetapi juga akan mendorong bangsa ini masuk ke dalam siklus kejatuhan yang sama seperti yang sedang kita rasakan sekarang.
Para capres boneka-korup pada dasarnya adalah para pendukung Presidential Treshold 20 persen yang ingin terus melanggengkan praktek oligarki yang memang sangat membutuhkan mereka untuk dijadikan presiden boneka.
Gerakan penolakan berbagai elemen masyarakat yang terjadi saat ini terhadap Presidential Treshold 20 persen yang kian hari kian masif esensinya adalah ekspresi dari Daulat Rakyat dan implementasi dari Daulat Hukum yang menginginkan Indonesia menjadi lebih baik dan menghasilkan demokrasi yang berkeadilan.
Betapa pentingnya Daulat Rakyat dan Daulat Hukum, sehingga ilmu hukum itu sendiri lahir dari kesadaran filosofis Homo Homini Lupus, Manusia adalah Serigala bagi Manusia lainnya. Karena itu hak-hak manusia harus diatur melalui hukum.
Hari ini praktek oligarki tidak ubahnya dengan serigala yang mencabik-cabik dan memangsa sumber hukum: Undang-Undang Dasar 1945. Dengan menyelundupkan Presidential Treshold 20 persen dan mengobrak-abrik Rechtsstaat menjadi Machtsstaat.
[***]