Artikel ini ditulis oleh Anthony Budiawan, Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS).
Partai Politik melalui perwakilannya di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) membuat Indonesia berpotensi menjadi negara gagal, membuat Indonesia dikuasai para oligarki, membuat Indonesia menjadi negara tirani. Di mana ekonomi dan hukum dikuasai para penguasa oligarki tirani.
DPR membuat Undang-Undang Pemilihan Umum (Pemilu) yang berimplikasi Indonesia ‘for Sale’, dengan cara memanipulasi proses pemilihan presiden dan menetapkan Presidential Threshold 20 persen. Artinya, Presiden dan Wakil Presiden hanya dapat dicalonkan oleh partai politik atau gabungan partai politik dengan jumlah suara minimal 20 persen dari jumlah kursi di DPR.
Dengan demikian, akan terbentuk kartel politik (baca: koalisi) oligarki yang akan menguasai ekonomi Indonesia. Karena kartel politik hanya menyisakan dua calon Presiden dan Wakil Presiden, yang keduanya adalah pilihan oligarki. Alias Presiden jadi-jadian, atau Presiden boneka.
Rakyat muak. Rakyat marah. Karena dijadikan komoditas politik untuk Indonesia ‘for Sale’, untuk kekayaan oligarki.
Sekelompok rakyat sudah beberapa kali mengajukan gugatan kepada Mahkamah Konstitusi. Tetapi kandas. Dalam salah satu putusannya, Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa Presidential Threshold …… “adalah konstitusional karena ketentuan ini dibutuhkan untuk memberi kepastian dukungan parlemen terhadap presiden sebagai salah satu syarat stabilitas kinerja presiden. PT berfungsi untuk memperkuat sistem presidensial.”
Sepertinya MK sudah keluar dari wewenangnya sebagai Mahkamah Konstitusi, yaitu sebagai pelaksana uji materi UU Pemilu terkait Presidential Threshold sebesar 20 persen terhadap UUD. Alasannya sebagai berikut.
Pertama, MK hanya diminta uji materi apakah Presidential Threshold 20 persen melanggar pasal 6A ayat (2) UUD, yang berbunyi: “Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum.”
Dalam konteks ini, terkesan Presidential Threshold 20 persen melanggar Pasal 6A ayat 2 UUD tersebut. Tetapi, putusan MK tidak berdasarkan uji materi dengan UUD. Melainkan berdasarkan pendapat dan opini subjektif yang tidak berpatokan pada UUD. Sehingga putusan MK melanggar Konstitusi itu sendiri. seperti dijelaskan berikut ini.
Kedua, MK tidak dimintai pendapatnya bagaimana memperkuat sistem presidensial. Atau, pasal mana di dalam UUD yang mengatakan bahwa Presidential Threshold 20 persen bisa dan wajib untuk memperkuat sistem presidensial?
Kalau tidak ada, maka alasan MK bahwa Presidential Threshold 20 persen adalah konstitusional karena memperkuat sistem presidensial jelas salah kaprah. Karena semua itu di luar wewenang MK, yang tugasnya hanya menguji sebuah UU terhadap UUD. Bukan interpretasi subjektif kebutuhan bangsa ini dalam politik, termasuk sistem presidensial.
Karena itu, jangan salahkan rakyat kalau menganggap putusan MK mengada-ada, sebagai kepanjangan tangan oligarki tirani yang menindas rakyat.
Ketiga, alasan MK tidak masuk akal dan tidak mempunyai dasar hukum sama sekali. Baik secara teori maupun fakta empiris. Karena sistem pemerintahan di banyak negara lain bisa stabil meskipun tidak mempunyai Presidential Threshold dalam pencalonan presiden.
Keempat, kalau alasannya stabilitas sistem presidensial, maka Presidential Threshold 20 persen tidak cukup. Sehingga presiden masih harus ‘berdagang sapi’ dengan partai politik lainnya, alias membentuk kartel politik, untuk menguasai parlemen. Saat ini, dukungan kartel politik (baca: koalisi) mungkin mencapai 80 persen dari jumlah kursi di DPR, atau lebih. Sehingga Presidential Threshold 20 persen tidak ada arti sama sekali.
Dengan demikian, Presidential Threshold 20 persen untuk pencalonan presiden tidak ada hubungannya dengan memperkuat sistem presidensial. Sehingga alasan MK sangat mengada-ada, dan di luar wewenang MK.
Rakyat menduga putusan ini diambil demi kepentingan tirani oligarki, yang akan menghancurkan bangsa Indonesia. Karena itu, sekali lagi, rakyat sangat marah. Rakyat merasa muak dengan permainan kotor oligarki tirani yang menguasai eksekutif, legislatif dan yudikatif.
Kini, sekali lagi, rakyat dari berbagai latar belakang menggugat Presidential Threshold 20 persen agar dihilangkan. Sesuai mandat UUD di mana Presiden dan Wakil Presiden dapat dicalonkan oleh partai politik atau gabungan partai politik. Di dalam jejeren penggugat termasuk juga anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD).
Kali ini, MK harus lebih waspada dalam memutuskan perkara ini, harus berdasarkan konstitusi dan berkeadilan. Nasib bangsa Indonesia ada di tangan MK, apakah terus dalam cengkeraman oligarki tirani atau menjadi negara demokrasi yang bersih. Hakim MK harus menjalankan revolusi mental agar kembali ke dalam koridor yudikatif yang independen.
Rekayasa putusan yang tidak adil dapat memicu kemarahan rakyat lebih besar. Dapat mengundang revolusi mental, untuk merebut kembali kedaulatan rakyat dari tangan oligarki tirani.
[***]