KedaiPena.Com – Setiap tahun, seluruh umat manusia di dunia bersama-sama memperingati International Day for the Right to the Truth concerning Gross Human Rights Violations and for the Dignity of Victims (Hari Internasional untuk Hak Atas Kebenaran dan Martabat Korban Pelanggaran Berat HAM), atau yang dikenal dengan ‘Hari Kebenaran Internasional’. Namun, seperti halnya setahun yang lalu, pada 24 Maret 2017 ini, pun belum ada progres berarti dalam upaya penyelesaian berbagai kasus pelanggaran hak asasi manusia di masa lalu. Menjelang 3 tahun pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla, justru muncul sejumlah paradoks dalam upaya penyelesaian, seperti halnya munculnya wacana pembentukan Dewan Kerukunan Nasional, sebagai ruang untuk menyelesaikan berbagai kasus kekerasan yang terjadi di masa lalu.
Perkembangan situasi tersebut tentu bertentangan dengan komitmen pemerintahan ini, yang berjanji akan menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia di masa lalu secara berkeadilan. Bahkan komitmen ini menjadi salah satu agenda prioritas pemerintah, sebagaimana dituangkan dalam dokumen Nawacita, dan selanjutnya dirumuskan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019. Dalam dokumen RPJMN disebutkan, Presiden akan membentuk suatu komite bersifat adhoc di bawah presiden, untuk memfasilitasi proses pengungkapan kebenaran, yang dapat menjadi dasar bagi langkah-langkah lanjutan dalam memenuhi hak korban. Pembentukan Komite ini diharapkan dapat memastikan adanya penuntasan kasus-kasus masa lalu, yang selama ini masih menjadi beban sosial politik bagi bangsa Indonesia.
Meski langkah aksi dan pelembagaan kebijakan dapat dirumuskan dalam berbagai bentuk yang berbeda-beda, namun secara prinsipil, keseluruhan tindakan tersebut terikat pada prinsip-prinsip umum yang diakui secara universal, yakni pada kewajiban negara dalam penyelesaian pelanggaran HAM (the duty to remember), dengan pemenuhan terhadap hak untuk tahu (the right to know), sebagai landasan dalam pemberian pemulihan korban (the right to reparation), serta penegakan pertanggung jawaban melalui penuntutan hukum, guna mencegah keberulangan, dan agenda reformasi kelembagaan. Dengan mengacu pada sejumlah prinsip tersebut, pilihan pembentukan Dewan Kerukunan Nasional, sebagai pilihan dalam penyelesaian berbagai kasus pelanggaran HAM, tentu bukan pilihan yang tepat, dan bertentangan dengan kewajiban konstitusional dan internasional pemerintah Indonesia sendiri.
Dengan acuan prinsip-prinsip yang demikian, dan berkaca dari seluruh rangkaian perjalanan upaya penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu yang pernah dilakukan, satu hal penting yang dapat kita simpulkan ialah tiadanya jalan tunggal dalam penyelesaian, apalagi yang sifatnya pintas, cepat dan efisien. Selain itu, guna memberikan legitimasi yang kuat atas prosesnya, juga dibutuhkan keterlibatan dan dukungan banyak aktor pemangku kepentingan. Sebelum menentukan langkah yang akan diambil, musti dipersiapkan terlebih dahulu gagasan konseptual dan peta jalan yang komprehensif, untuk secara gradual mengantarkan langkah-langkah penyelesaian, sebagai jalan membangun keadaban baru, tanpa meninggalkan kewajiban negara pada para korban.
Musti diingat kembali bahwa salah satu tujuan dari penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu, adalah mengembalikan kedaulatan hukum, sebagai mandat dari prinsip negara hukum (the rule of law), seperti ditegaskan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Oleh karenanya, dalam setiap upaya pelembagaan kebijakan penyelesaian, haruslah sejalan dengan prinsip-prinsip dan kerangka negara hukum, dengan menjadikan hukum sebagai pedoman. Bagian integral dari pengejawantahan prinsip ini adalah juga dengan memastikan proses yang terbuka, transparan, dan partisipatif dalam penyusunan usulan kebijakannya. Tidak menempatkan upaya pelembagaan penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu dalam ruang gelap, menjadi penanda penting telah adanya transformasi politik dari otoritarian ke demokrasi.
Oleh karena itu, bersamaan dengan peringatan Hari Kebenaran Internasional ini, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), kembali merekomendasikan berbagai langkah berikut ini:
(1) Presiden Joko Widodo segera melakukan pengakuan secara resmi (official remorse) atas berbagai kasus pelanggaran hak asasi manusia di masa lalu, yang ditindaklanjuti dengan berbagai agenda penyelesaian, termasuk pembentukan Komite Adhoc Kepresidenan untuk Penyelesaian Pelanggaran HAM Masa Lalu, klarifikasi sejarah dalam rangka pengungkapan kebenaran, permintaan maaf, juga penyediaan pemulihan yang efektif bagi korban dan/atau keluarganya. Artinya, agenda penyelesaian tidak semata-mata terpaku pada pilihan yudisial atau non-yudisial, melainkan harus melakukan penyelesaian secara menyeluruh.
(2) Presiden selaku pemimpin tertinggi pemerintahan, memastikan Jaksa Agung untuk bekerja sesuai dengan mandatnya, dengan mengacu pada prinsip-prinisp rule of law, untuk menindaklanjuti berbagai hasil penyelidikan Komnas HAM. Sementara Komnas HAM, sebagai ‘lembaga negara independen’ yang bertugas memastikan tegaknya agenda hak asasi manusia, musti terus memastikan Kejaksaan Agung, mengambil langkah sesuai dengan prosedur peraturan perundang-undangan, untuk menindaklanjuti berbagai hasil penyelidikan Komnas HAM atas dugaan berbagai kasus pelanggaran hak asasi manusia yang berat;
(3) Perlunya mendorong berbagai inisiatif di tingkat komunitas maupun pemerintahan lokal, untuk mengupayakan langkah-langkah pengakuan, pengungkapan kebenaran dan rekonsiliasi secara terbatas, dalam rangka restorasi sosial, sekaligus memastikan adanya pemulihan bagi para korban pelanggaran hak asasi manusia di masa lalu.
Pembentukan Hari Kebenaran Internasional oleh Majelis Umum PBB sendiri, merupakan upaya penghormatan atas tewasnya Uskup Agung Óscar Arnulfo Romero, seorang pejuang HAM dan keadilan sosial, oleh pasukan pemerintah El Salvador pada tanggal 24 Maret 1980. Peringatan ini menjadi upaya komunitas internasional untuk tidak hanya sekedar mengenang dan menghormati korban-korban pelanggaran HAM yang berat dan sistematik, tetapi juga sebagai daya gerak untuk mempromosikan pentingnya hak atas kebenaran dan keadilan. Dikatakan Sekretaris-Jenderal PBB, Ban Ki-moon, “Hak atas kebenaran sangatlah esensial bagi korban dan masyarakat secara seutuhnya. Mengungkapkan kebenaran pelanggaran HAM masa lalu dapat membantu pencegahan pelanggaran HAM di masa depanâ€.
Laporan: Anggita Ramadoni