Artikel ini ditulis oleh Adhie Massarsi, Ketua Komite Eksekutif Koalisi Aksi Menyelamatkan Indoneisa (KAMI)
Memperhatikan kritik kalangan mahasiswa terhadap (gaya) kepemimpinan Presiden Joko Widodo, khususnya yang disampaikan Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia (BEM UI) dan sebelumnya oleh Aliansi Mahasiswa Universitas Gajah Mada (UGM) yang kini menjadi perbincangan luas di masyarakat, terutama di dunia maya (media sosial).l dan respon Presiden Widodo atas kritik kalangan kampus tersebut, KAMI (Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia) menyampaikan sikap dan pendapat sebagai berikut:
Tentang Kritik Mahasiswa
Substansi pandangan kritis BEM UI dan Aliansi Mahasiswa UGM, juga yang kemudian bersambut di sejumlah kampus, sesungguhnya merupakan ekspresi pandangan yang berkembang di masyarakat yang dikemas dan diproses secara intelektual khas kalangan intelektual di kampus.
Kalau dicermati secara seksama, poster digital yang di-posting di media sosial oleh para mahasiswa itu mengandung unsur kreativitas seni rupa (grafis) dengan pilihan kata-kata yang tidak vulgar melainkan satire (The King of Lip Service dan Juara Umum Lomba Ketidaksesuaian Omongan dengan Kenyataan), dan ini merupakan tradisi mengeritik kaum intelektual di seluruh dunia.
Padahal pandangan yang berkembang di masyarakat terhadap kesimpang-siuran dan ketidakpastian kebijakan dan pernyataan-pernyataan pemerintah, baik dari Presiden maupun para anggota kabinet, karena dilampiri rekam-jejak digital, jauh lebih vulgar dan cenderung melecehkan.
Terhadap sikap masyarakat yang demikian itu, menganggap pemerintah “tidak satu dengan perbuatan/tindakan”, tidaklah berlebihan. Karena hal demikian juga dirasakan oleh masyarakat internasional, terbukti dengan diterbitkannya buku 192 halaman berjudul Man of Contradictions: Joko Widodo and The Struggle To Remake Indonesia karya Ben Bland, Direktur Program Asia Tenggara Lowy Institute, Australia, awal September 2020.
Respon Presiden Terhadap Kritik Mahasiswa
Selanjutnya, mencermati respon Presiden Widodo terhadap kritik mahasiswa yang disampaikan di Istana Kepresidenan dan ditayangkan di kanal YouTube Sekretariat Presiden dan dikutip sejumlah media massa, menurut hemat KAMI sama sekali tidak menyentuh substansi.
Presiden gagal memahami apa yang menjadi kegelisahan masyarakat pada umumnya dan mahasiswa pada khususnya, sehingga melahirkan kritik satire “The King of Lip Service” yang menjadi trending topic sekarang ini.
Sebagaimana dikutip oleh media massa. Presiden Widodo (hanya) mengatakan: “Ya, saya kira ini bentuk ekspresi mahasiswa dan ini negara demokrasi. Jadi kritik ini ya boleh-boleh saja!”
Padahal yang kita harapkan adalah jawaban dan atau penjelasan Presiden mengenai kenapa “pernyataan yang dilontarkan bisa berbeda dengan kenyataan” atau pernyataan yang satu bertentangan dengan pernyataan berikutnya.
Misalnya, ketika marak demonstrasi menolak Omnibus Law, Presiden, sebagaimana dikutip media massa, menyatakan: “Jika tak puas Omnibus Law silakan bawa ke MK (Mahkamah Konstitusi)”.
Akan tetapi beberapa waktu kemudian, media massa memberitakan pernyataan Presiden yang “minta MK tolak semua gugatan tentang UU Cipta Kerja”.
Pernyataan terbaru dan ada benang merah dengan kritik satire para mahasiswa terkait KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) yang menjadi isu nasional saat digelar Tes Wawasan Kebangsaan (TWK).
Banyak disiarkan media massa bahwa Presiden mengatakan “Hasil TWK tidak serta-merta bisa dijadikan dasar untuk memberhentikan para pegawai yang tidak lolos tes”. Tapi kenyataannya berbeda dengan pernyataannya.
Terkait sikap kritis mahasiswa, Presiden juga mengatakan, “Universitas tidak perlu menghalangi mahasiswa untuk berekspresi”. Tapi kita tidak tahu bagaimana langkah Rektorat terhadap para mahasiswanya yang menyampaikan kritik itu. Apakah akan sama dengan yang terjadi di KPK, di mana pernyataan Presiden berbeda dengan apa yang terjadi di lapangan?
Kesimpulan
Agar persoalan kritik satire mahasiswa ini tidak menimbulkan hiruk-pikuk politik yang tidak perlu, mengingat bangsa ini sedang dilanda dua kriris besar yang membahayakan, yakni krisis kesehatan akibat pandemi Covid-19 yang telah bermutasi dan kian mematikan, serta krisis ekonomi yang sudah menggerogoti daya beli masyarakat, KAMI meminta kepada Presiden Joko Widodo untuk segera menjawab kritikan mahasiswa yang juga menjadi kegelisahan masyarakat akan adanya ketidakpastian dalam hampir semua kebijakan pemerintah.
Memang tidak semua kesimpang-siuran harus dijelaskan, mengingat akan sangat banyak jika didaftar. Seperti tentang 50 juta masker, uang di luar yang Rp 11.000 triliun, 10 juta lapangan kerja, listrik murah, stop utang luar negeri, dan lain-lain.
Presiden bisa memilih yang mungkin dirasa paling penting dijelaskan kepada masyarakat. Misalnya, apa yang sesungguhnya terjadi dalam tata kelola BUMN, tata kelola ekonomi, tata kelola utang luar negeri, dan apa yang sesungguhnya akan dilakukan pemerintah terhadap pandemi Covid-19 yang kian ganas, karena masyarakat merasa harus menghadapinya sendirian.
[***]