KedaiPena.Com – Presiden Joko Widodo baru-baru ini (07 Maret 2018) , memanggil dan menggelar pertemuan dengan Tim Perumus dan Penyusun Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP), diantaranya yaitu Prof. Muladi, Prof. Enny Nurbaningsih, Prof. Harkristuti Harkrisnowo, dan perwakilan dari Kemenkumham. Hal ini dilakukan guna mendapatkan masukan perkembangan RKUHP yang sudah dibahas kurang lebih selama 40 tahun. Hasil dari pertemuan tersebut, Presiden telah meminta agar RKUHP segera dirampungkan dan diputuskan di DPR.
Aliansi Nasional Reformasi KUHP mengingatkan bahwa RKUHP belum melibatkan ahli dari multidsipliner, hingga saat ini yang dilibatkan hanyalah ahli dari wilayah hukum pidana. Padahal RKUHP ini jika disahkan nantinya akan mengikat dan mengatur seluruh aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Sehingga Presiden wajib untuk membuka dialog multi-displin yang terdiri dari ahli, yang bukan saja ahli hukum pidana, untuk dapat melihat RKUHP secara lebih komprehensif.
Selain itu, Presiden juga harus melibatkan Kementerian/Lembaga Pemerintahan lainnya dalam dialog tersebut agar RKUHP yang terumuskan tidak bertentangan ataupun mengancam program yang telah dijalankan kementerian/lemabaga terkait dengan RPJMN 2015-2019 serta Nawacita yang selama ini digaungkan oleh Presiden. Semisalnya paket reformasi hukum jilid I Presiden Jokowi tentang penyelesaian masalah overcrowding di lapas yang justru akan menambah masalah serta beban lapas yang ada saat ini jika RKUHP ini disahkan, karena nuansa pemenjaraan masih kental dan minimnya penggunaan alternatif pemidanaan.
Berdasarkan data yang dipaparkan BAPPENAS, RKUHP justru akan menghambat pencapaian tujuan pembangunan, berdampak negatif pada paket kebijakan ekonomi dan bertentangan dengan agenda deregulasi. Semisalnya pengurangan kemiskinan dikarenakan kriminalisasi terhadap kelompok miskin dan rentan justru semakin akan meningkat sehingga lingkaran kemiskinan akan semakin terpelihara. Di sisi yang lain, RKUHP juga akan berpotensi meningkatkan Angka Kematian Ibu dan Angka Kematian bayi karena potensi kawin dalam waktu cepat dan anak perempuan hamil di usia muda semakin meningkat. Dan juga RKUHP justru akan menghantam tujuan pemerintah untuk menggairahkan sektor swasta dengan potensi industri pariwisata menjadi sasaran persekusi.
Aliansi Nasional Reformasi KUHP juga menyoroti terkait infrastruktur penunjang RKUHP yang berpotensi besar tidak terlaksana sesuai target waktu yang disediakan oleh RKUHP itu sendiri yaitu dalam waktu 2 tahun. Hal ini didasarkan contoh bahwa infrastruktur penunjang UU SPPA hingga batas waktu 2 tahun yang diberikan oleh undang-undang tersebut sama sekali belum 100% tersedia. Infrastruktur penunjang yang belum tersedia justru akan mengacaukan sistem penegakan hukum pidana ke depannya.
Serta pembangunan infrastruktur penunjang RKUHP justru akan memberikan dampak pembengkakan pada anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) dalam waktu 3 tahun ke depan, untuk melaksanakan pidana tutupan, pengawasan dan pidana kerja sosial. Padahal dibutuhkan juga alokasi anggaran yang harus diserap untuk sektor lain yang sama pentingnya. Hal ini dapat terlihat dengan akan semakin sulitnya jaminan bantuan hukum yang berkualitas untuk puluhan juta warganegara yang rentan berpotensi dikriminalisasi.
Atas dasar beberapa hal tersebut, Aliansi Nasional Reformasi KUHP mendorong serta mendesak kepada Presiden agar tidak perlu terburu-buru mengesahkan RKUHP dan seharusnya melakukan dialog multi-displiner baik ahli maupun kementerian/lembaga terlebih dahulu agar proses pembaharuan hukum pidana nasional sesuai dengan pembangunan nasional dan tidak menjadi beban pemerintah di masa yang akan datang.
Oleh Erasmus A. T. Napitupulu, Direktur Pelaksana ICJR