Artikel ini ditulis oleh Anthony Budiawan, Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies).
DPR mempunyai wewenang konstitusi memberhentikan presiden dalam masa jabatan, apabila terbukti melakukan pelanggaran hukum, seperti di atur di Pasal 7A Undang-Undang Dasar (UUD).
Pelanggaran hukum yang dimaksud antara lain pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, dan perbuatan tercela.
Sedangkan yang dimaksud dengan pengkhianatan terhadap negara antara lain pelanggaran konstitusi. Dan perbuatan tercela adalah perbuatan yang bertentangan dengan norma agama, norma susila, dan norma adat.
Berbohong merupakan salah satu perbuatan tercela yang dilarang semua agama, dan melanggar norma susila. Karena itu, kalau presiden berbohong maka presiden melakukan perbuatan tercela, dan karena itu dapat diberhentikan.
Seiring dengan Putusan Mahkamah Konstitusi No 90 terkait persyaratan batas usia capres-cawapres yang memberi jalan kepada Gibran untuk menjadi calon wakil presiden, suara pemakzulan kepada Jokowi mulai menggema, dan semakin lantang.
Masyarakat menganggap Putusan MK tersebut melanggar hukum beraroma KKN, dengan melakukan intervensi terhadap Putusan MK. Anwar Usman sudah terbukti melakukan pelanggaran hukum berat, dan diberhentikan dari jabatan Ketua Mahkamah Konstitusi.
Apakah Jokowi juga terlibat dalam intervensi Putusan MK yang cacat moral dan cacat hukum tersebut? Tentu saja semua itu perlu dibuktikan.
Putusan MK hanya fenomena puncak gunung es. Selain itu, masyarakat mencatat pemerintahan Jokowi diduga banyak melakukan pelanggaran hukum dan konstitusi.
Antara lain:
1. Kebijakan investasi di Pulau Rempang, yang diiringi dengan pengusiran warga setempat, diduga melanggar hak warga dan masyarakat adat setempat, serta melanggar konstitusi perihal Hak Asasi Manusia.
Kebijakan pemberian hak pengelolaan lahan di hutan lindung dan hutan buru Pulau Rempang kepada investor juga terindikasi melanggar hukum.
2. Kebijakan Proyek Strategis Nasional Pulau Rempang ditetapkan hanya dalam waktu satu bulan sejak tanda tangan kerjasama investasi dengan perusahaan China juga diduga melanggar hukum dan HAM.
3. Kebijakan menaikkan harga BBM bersubsidi pada 3 September 2022 diduga kuat melanggar UU Keuangan Negara, UU APBN serta norma agama dan norma susila. Karena kenaikan harga BBM diawali dengan “propaganda”, atau pembohongan publik, bahwa APBN akan jebol, dengan alasan subsidi BBM mencapai Rp502 triliun, yang ternyata tidak benar.
4. Penetapan APBN 2020 dan 2022 dengan menggunakan peraturan presiden (perpres), Perpres No. 54/2020, Perpres No. 72/2020, Perpres No. 98/2022, secara terang benderang melanggar UU Keuangan Negara dan konstitusi Pasal 23, yang mewajibkan APBN harus ditetapkan dengan UU: “Anggaran pendapatan dan belanja negara sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”
5. Kebijakan terkait Ibu Kota Negara (IKN) diduga melanggar banyak peraturan perundangan-undangan dan konstitusi.
IKN dalam bentuk Badan Otorita sebagai Daerah melanggar konstitusi Pasal 18, yang menyatakan bahwa Daerah hanya terdiri dari Provinsi, yang terbagi atas Kabupaten dan Kota: “Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan Kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang.”
Maka itu, Badan Otorita sebagai Daerah, dan Kepala Badan Otorita sebagai Kepala Daerah jelas melanggar konstitusi.
6. Kebijakan IKN dengan menyerahkan design IKN kepada pemerintah China secara G-to-G tanpa ada persetujuan DPR diduga melanggar konstitusi dan membahayakan keamanan negara, dan bisa masuk kategori pengkhianatan terhadap negara.
7. Propaganda bahwa IKN akan menarik banyak investasi asing, ternyata tidak terbukti dan diduga mengandung unsur pembohongan publik. Karena, hingga sekarang, ternyata tidak ada investor asing yang tertarik investasi di IKN.
Daftar di atas hanya sebagian dari dugaan pelanggaran yang dilakukan pemerintahan Jokowi. Tentu saja, dugaan pelanggaran tersebut harus dibuktikan.
Bagaimana DPR dapat membuktikan presiden telah melakukan pelanggaran?
Untuk itu, DPR diberi hak menyelidiki, yaitu hak interpelasi, hak angket dan hak menyatakan pendapat, untuk mencari bukti apakah pemerintah sudah melaksanakan tugasnya sesuai peraturan perundang-undangan dan konstitusi. Kalau terbukti melanggar hukum, presiden wajib diberhentikan.
[***]