KedaiPena.Com – Partai Rakyat Demokratik (PRD) memegaskan bahwa Pancasila tidak dapat dipotong-potong menjadi sesuatu yang parsial untuk menyelesaikan satu masalah sembari mengabaikan masalah lain yang lebih krusial.
Masalah apa yang lebih krusial pada kondisi dan situasi Indonesia hari ini? Jawabnya adalah kemiskinan dan ketimpangan sosial akibat liberalisasi ekonomi.
Demikian disampaikan Ketua Umum PRD Agus Jabo Priyono dalam keterangan pers yang diterima KedaiPena.Com, Rabu (24/7/2019).
“Pengalaman sejarah membuktikan bahwa pasang naik dari politik sektarian, atau juga dikenal dengan populisme kanan, hadir seiring dengan merosotnya perekonomian rakyat. Hal ini bahkan menjadi fenomena politik global dengan bangkitnya politik sektarian di berbagai negara,” tegas Agus.
Ia menbahkan, kebangkitan neo-fasis di Eropa dan Amerika seperti ‘white supremacy’ telah menjelaskan ini semua.
Ketimpangan ekonomi di Indonesia, menurut Bank Dunia, tercepat dan tertinggi di Asia yang ditunjukkan dengan naiknya rasio gini 0,30/tahun 2000 menjadi 0,42/tahun 2015.
Pertumbuhan ekonomi pun tidak seiring dengan pemerataan kesejahteraan sosial. Kondisi ini dapat kita rasakan dan saksikan. Hanya 20 persen masyarakat yang menikmati pertumbuhan ekonomi tersebut. Ketidakadilan ekonomi dan ketimpangan sosial yang semakin akut dapat menyulut politik sektarianisme menjadi api yang membakar dan meluluhlantakkan Persatuan Indonesia, Bhineka Tunggal Ika dan NKRI.
“Mengapa di negara yang sejak awal berdirinya sudah menyatakan Pancasila (bergotong royong dalam membangun kehidupan) sebagai filosofi dan dasar negara, bisa bernasib demikian? Jawabnya: karena sistem yang berlaku sekarang ini adalah sistem yang dirancang untuk memberikan ruang serta keuntungan bagi segelintir orang untuk menguasai sebagian besar kekayaan tanah air Indonesia. Sistem ini kita kenal sebagai neoliberalisme,” papar Agus.
Dalam sistem neoliberalisme itu, dapat diihat bagaimana fungsi Negara untuk menjadi pelindung serta mensejahterakan rakyatnya, telah dilumpuhkan. Dengan sangat sistematis, Negara justru dipaksa memberikan ruang seluas-luasnya bagi kapitalis asing atas nama kebebasan berinvestasi.
“Padahal, Negara seharusnya memperkuat soko guru ekonomi nasional yaitu BUMN, Koperasi dan Swasta Nasional sebagai wujud pelaksanaan Pasal 33 UUD 1945,” ujarnya.
Dengan begitu, neoliberalisme telah membongkar pondasi negara Pancasila, dengan menjadikan Modal Asing berkuasa tanpa batas di atas kehidupan masyarakat Indonesia. Atas nama efisiensi, subsidi sosial, jaminan hak dasar, dana pensiun, dan lain-lain, yang menjadi hak masyarakat dan menjadi kewajiban negara untuk memenuhinya, dipangkas habis.
Tanah yang menjadi sandaran hidup, yang di dalamnya juga terkandung ikatan cultural bagi sebagian besar bangsa Indonesia, pun dipersembahkan untuk memenuhi kebutuhan dan berputarnya modal asing dalam membangun usaha bisnisnya: tanah telah menjadi komoditi, menjauh dari fungsi sosialnya.
“Inilah yang selalu menimbulkan konflik agraria antara masyarakat dengan investor-kapitalis, yang pada posisi tersebut negara beserta aparatusnya sering berposisi menjadi “pembela” kepentingan investor, dan menyingkirkan anak kandungnya sendiri, yaitu bangsa Indonesia,” tegasnya.
Sementara itu Sekjend PRD, Dominggus Oktavianus
menambahkan, pelaksanaan paham neoliberalisme jelas adalah kesalahan terbesar yang dilakukan oleh para pemimpin negara kita ini. Hal ini diawali dengan masuknya modal asing yang berwatak imperialis melalui UU PMA tahun 1967, yang kemudian dituntaskan dengan amandemen UUD 1945 yang berwatak liberal, yang bertentangan dengan semangat Preambule UUD 1945, Pancasila serta cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945.
“Dengan menyadari bahwa Kapitalisme dan Neoliberalisme telah gagal membawa Indonesia menjadi sejahtera, seharusnyalah kita kini dengan tekad baja mengubah haluan ekonomi kapitalistik dan neoliberal itu menjadi haluan ekonomi yang berdasarkan pada cita-cita Proklamasi Kemerdekaan 1945,” kata Dominggus.
Agar kesenjangan bisa diatasi, kehidupan para kapitalis ini harus dikontrol, selain dengan pembatasan melalui UU, seperti penguasaan agraria yang diatur dalam UUPA 1960, sistem pajak harus juga diberlakukan di atas keadilan.
“Bukankah banyak indikasi justru merekalah yang sering bermain sulap untuk urusan pajak, sehingga negara harus membentuk Badan Khusus atau Densus untuk mengejar para wajib pajak yang tidak mau membayar pajak tersebut? Situasi inilah yang sesungguhnya membahayakan kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebab, dari uang pajak tersebut negara mempunyai peluang untuk membangun sumber daya manusia Indonesia yang unggul melalui pendidikan yang tidak berorientasi profit, jaminan kesehatan dan jaminan sosial lainnya, dengan semangat melindungi segenap bangsa Indonesia,” beber dia.
“Dalam semangat seperti itulah pastinya perjuangan PRD dilancarkan tanpa menyerah. Dalam perjuangan PRD yang kini telah sampai pada tahun ke-23 ini, PRD menegaskan bahwa jalan kita ke depan untuk berjuang bersama rakyat mewujudkan masyarakat adil dan makmur adalah Membangun Persatuan Nasional sekaligus mewujudkan Kesejahteraan Sosial. Sebab, omong-kosong ada Persatuan Nasional yang kokoh tanpa ada keadilan sosial,” ia menambahkan.
Dalam kerangka ini, PRD juga menyerukan perlunya membangun susunan ekonomi nasional yang kokoh dengan memperkuat BUMN, Koperasi dan Swasta Nasional sebagai wujud pelaksanaan Pasal 33 UUD 1945.
“Begitulah kita akan memenangkan Pancasila dalam kehidupan nyata rakyat Indonesia dalam bermasyarakat dan bernegara. Inilah jalan kita ke depan: bangun persatuan nasional, wujudkan kesejahteraan sosial, dan menangkan Pancasila,” tandas dia.
Laporan: Muhammad Hafidh