PAGI itu, sebagaimana pada banyak pagi sebelumnya, mentari bersinar dengan cerianya. Sorotan teduh mentari pagi itu merupakan bagian prosesi rutinnya menebar senyum mengawali hari kepada dunia, sekaligus membawa pesan harian dari Sang Penguasa Jagad kepada segala makhluk penghuni bumi agar senantiasa menjaga damai di hati damai di bumi.
Angin berhembus semilir, melambai-lambaikan dedaunan, rumput ilalang, dan apa saja yang bisa bergerak terlewati arus hembusannya. Aneka burung masih saja terus bersenandung kidung-kidung kehidupan, bergerak menari-nari lincah dan terbang ke sana ke mari, seakan-akan tak pernah bosan merayakan kemerdekaannya sebagai makhluk yang bisa terbang.
Di pagi itu pula, di sebuah hamparan buana, terlihat para prajurit koalisi pasukan tempur Kurawa sedang berbaris rapi di sisi sebelah selatan padang luas Kurusetra. Tak ketinggalan para ksatria utama Kurawa dan mitra koalisinya, dengan uniform kebesarannya, berdiri khidmat di belakang barisan para prajurit garis depan, memperhatikan kesiapan pasukannya, dan menyapu pandangan ke depan kiri-kanan dengan teropongnya ke arah para musuhnya.
Sementara kubu koalisi pasukan Pandawa, tak kalah gagah berbaris dan berbanjar-banjar di sisi utara Padang Kurusetra. Posisi siaga pun ditunjukkan para ksatria koalisi pasukan Pandawa, yang menatap awas ke arah lawan-lawannya di depan sana.
Bendera kebesaran dan umbul-umbul penanda kedua kubu yang sedang berhadap-hadapan dan siap saling tumpas mengalahkan itu, berkibar-kibar dengan gagahnya diterpa hembusan angin.
Kedua kubu itu sedang menanti ditiupnya sangkakala tanda mulainya pertempuran, yang tak beberapa lama lagi akan ditiupkan. Barisan depan di antara kedua kubu hanya berjarak ratusan meter saja untuk saling bertumbukan di tengah-tengah.
Dilihat dari ketebalan formasi baris dan banjar masing-masing pasukan yang sedang berhadap-hadapan itu, pastilah masing-masing melibatkan berjuta-juta prajurit garis depan yang tak lain rakyat biasa, para rakyat jelata tak bernama.
Pada masing-masing kubu terlihat saf-saf pasukan gajah dan kuda, pasukan memanah, ratusan batalyon pasukan tombak dan pedang, arteleri medan pelontar batu besar dan bola api, dan sebagainya.
‌
Beberapa waktu jelang ditiupnya sangkakala tanda dimulainya pertempuran, para komandan regu kedua kubu memandu yel-yel pengobar semangat tempur kepada para prajurit garis depan itu. Tak ketinggalan terdengar pula hymne caci-maki paling sinting terhadap kubu lawan.
Kalimat-kalimat cacian merendahkan terhadap kubu lawan itu, jauh sebelumnya memang telah ditransfer ke dalam sistim pemahaman para prajurit garis depan. Banyak dari caci-maki itu berasal dan bercampur dari bahan dasar hoax dan fitnah, yang diproduksi para propagandis penghalal segala cara yang berada di panggung belakang, di dapur pemikir kekuasaan.
Dalam derajat tertentu, sedikit agak mirip dengan hirup-pikuk dukung-mendukung dan gesekan-gesekan dalam pertarungan kekuasaan politik pada Pilkada DKI Jakarta 2017 putaran kedua. Dimana caci-maki berbasis data hoax, fitnah, dan analisis keliru yang menguntungkan kubunya, terus dihadirkan dan dirawat secara massif dan bergelombang, dipompakan ke isi kepala rakyat Jakarta dan para relawan yang menjadi prajurit garis depan politik elektoral Pilkada DKI Jakarta.
Malah tak jarang para prajurit garis depan itu mampu menciptakan kreasi caci-maki lebih lanjut yang tak kalah garang dan menohok berbasis kesadaran palsy yang terbentuk di kepalanya, yang tentunya akan cenderung diamini para elit utama dan disainer kekuasaan, karena menguntungkan posisinya.
Kemudian akhirnya, tibalah saat sangkakala tanda dimulainya pertempuran dibunyikan. Para prajurit garis depan kedua kubu itu berlari dan bergerak ke tengah-tengah medan laga Kurusetra. Menerjang dan menggempur musuh yang didapatinya sekena-kenanya laksana kesurupan. Teriakan caci-maki kedua kubu semakin bertambah sinting dan merendahkan kemanusiaan.
Memang sulit untuk membayangkan adanya keadaban pada setiap perang. Dan di Kurusetra, yang terus saja mengalun selama perang, yang konon berlangsung selama dua minggu itu adalah justru simponi kebiadaban.
Suara gemerincing tak henti-hentinya dari suara logam yang beradu, erangan panjang akibat putusnya tangan atau kaki yang ditebas pedang lawan, semburan darah yang muncrat menggenangi tanah, seringai kuda dan gajah yang tertancap panah, lenguhan penyesalan lantaran salah menikam teman sendiri, atau benturan keras antara kepala dengan batu besar yang dilontarkan musuh.
Bagi prajurit garis depan, yang menjadi tameng terluar kekuasaan, perang itu sesungguhnya tak mewakili kepentingan mereka. Mereka tak pernah tahu motif apa sebenarnya dari para elit-elit kekuasaannya sehingga perang harus dilakukan.
Tak tersedia pula ruang bagi mereka menawarkan sebuah orientasi kekuasaan yang sebaiknya dijalankan, yang bisa berdampak pada peningkatan kualitas hidup rakyat kecil seperti mereka jika perang berhasil dimenangkan. Mereka mungkin lebih condong dipandang oleh elit-elit kekuasaan sebagai alat, bukan subjek berjati diri yang bisa diperankan membangun negeri.
Pun dalam konteks perebutan kekuasaan lewat pesta demokrasi di Pilkada DKI Jakarta 2017 putaran kedua, tentu kita menjadi prihatin, jika ternyata para relawan selama ini cuma diperankan menjadi speaker aktif caci-maki kepada pesaing belaka.
Atau jika ternyata sekedar dijadikan perantara bagi-bagi sembako, barang-barang, dan uang kepada rakyat kecil sebagai sejenis “suap” untuk memilih cagub-cawagubnya. Di sadari atau tidak, justru itu amat merendahkan martabat kemanusiaan rakyat yang harusnya dimuliakan bukan dengan cara-cara seperti itu. Dan tentunya merendahkan martabat demokrasi substansial yang selama ini hendak kita tegakkan bersama-sama.
Semoga saja kita semua senantiasa dibimbing Sang Maha Kuasa untuk semakin matang dan semakin tegar dalam memperjuangkan dan menegakkan demokrasi substantial yang saat ini masih belum sesuai harapan, dan tantangannya pun semakin besar. Ya, semoga saja.
Salam Demokrasi Substansial!
Oleh Nanang Djamaludin, Anasis sosial-kerakyatan Komunitas Intelektual Aktivis 98 (KIAT 98), Direktur Eksekutif Jaringan Anak Nusantara (JARANAN)