CAHAYA rembulan nan lembut dan sungguh terang itu tiba-tiba menyorot punggung lelaki itu. Tanpa diduga, ternyata tiba-tiba sorotan cahaya rembulan itu berkobar-kobar menjadi api yang membakar punggungnya.
Lelaki itu pun menjerit kepanasan. Ia terbangun dan tersadar bahwa apa yang baru dialaminya itu ternyata cuma sekedar mimpi. Ya, mimpi yang mengerikan!
Esoknya ia bercerita kepada ayahnya dan bertanya apa gerangan makna dari mimpi yang serasa seperti kenyataan itu. Ayahnya yang berkepekaan spiritual tinggi dan teruji itu agak lama terdiam usai mendengar cerita anaknya. Tatapannya menerawang sambil menarik napas panjangnya.
“Ketahuilah nak, bulan dalam mimpimu itu berarti keturunan. Dan api yang kamu ceritakan itu artinya adalah prahara, goro-goro, anarki, atau perang. Sedangkan panas yang membakar punggungmu itu berarti dirimu sendiri yang akan mengalaminya. Maksudnya, dirimulah yang akan turut merasakan langsung prahara di antara keturunan keluarga besar kita,” begitulah tafsir dari sang ayah.
Lelaki yang bermimpi mengerikan itu adalah Abyasa. Sedangkan ayahnya adalah pertapa sakti Bhagawan Palasara.
Sebenarnya mimpi Abyasa itu cuma penanda lanjutan saja atas keberadaan skema utama takdir yang telah digariskan Dewata. Bahwa takdir Dewata terhadap para keturunan Bharata, dimana para Pandawa dan Para Kurawa bakal berperang dalam Bharatayudha, sesungguhnya telah diberi penanda jauh-jauh hari sebelumnya.
Yakni, tatkala Shakuntala berjumpa dengan Dushwanta, yang kemudian melahirkan wangsa Bharata. Itulah mengapa sesaat perang Bharatayudha akan berlangsung, Sri Kresna, sang titisan Dewa Wisnu, yang menjadi penasehat tempur Pandawa, berkata kepada Arjuna:
“Adinda Arjuna, dalam perang ini tidak ada lagi saudara, kakek, paman, guru, mentor, maupun kerabat. Perang ini sesungguhnya sebuah panggung bagi penebusan atas karma. Sebuah prosesi pembersihan kotoran yang bersemayam di dalam pikiran dan jiwa. Sebuah pelarungan sesajen dari para pihak yang terlibat perang ini bagi Sang Pemilik Jagat agar kehidupan terus berlanjut. Sehingga spirit dan moralitas baru pun kemudin bisa memungkinkan untuk dihadirkan. Dan perang ini sesungguhnya merupakan bagian dari perputaran jagad yang wajar, yang justru sebelumnya memang telah ditakdirkan!”
Dan akhirnya kita tahu, perang saudara yang amat ganas dan penuh kebrutalan itu dengan korban manusia yang amat banyak, yang konon berlangsung selama dua minggu itu, berakhir dengan kekalahan pihak Kurawa yang tumpas hancur menjadi debu. Namun, bukan berarti pihak Pandawa pun tidak menjadi arang, bukan?
Oleh Nanang Djamaludin, Direktur Eksekutif Jaringan Anak Nusantara (JARANAN)