PRABOWO Subianto maju lagi. Apa pasal? Pertama, secara internal akan menjadi lecutan semangat kader untuk bertarung 2019, pilpres dan pileg. Kedua, secara ekternal Gerindra akan jadi magnet para pemilih karena punya calon presiden. Para caleg bisa numpang branding. Ketiga, elektabilitas Prabowo di posisi kedua setelah Jokowi.
Tiga alasan di atas seperti logis. Benarkah? Logis dalam pengertian kepentingan partai Gerindra iya. Tapi, apakah logis dalam kalkulasi kemenangan? Lebih subtansial lagi, apakah logis untuk kepentingan bangsa? Ah, menang kalah nomor sekian. Yang penting bertarung dulu. Tidakkah kalah menang itu hal biasa? Jawaban yang sangat egois. Partisan dan tidak berpikir untuk kepentingan dan masa depan bangsa.
Elektabilitas Prabowo memang di bawah Jokowi. Tapi tidak di bawah persis. Jaraknya cukup jauh. Semua survei menunjulkan itu. Bukan soal berapa jaraknya, besar-kecil dan jauh-dekat, tapi seberapa potensial elektabilitas Prabowo akan mampu mengejar perolehan suara Jokowi. Inilah variabel mendasar yang mestinya dijadikan rujukan analisis.
Trend elektabilitas Jokowi turun. Anehnya, elektabilitas Prabowo juga ikut turun, minimal stagnan. Turunnya elektabilitas Jokowi tidak diikuti dengan naiknya suara Prabowo. Karena Prabowo belum deklarasi dan turun lapangan. Benarkah?
Yang publik tahu Jokowi adalah rival Prabowo. Tanpa deklarasi dan branding, rivalitas ini otomatis mempengaruhi publik untuk memilih kalau tidak Jokowi, ya Prabowo. Tapi, kenyataannya tidak begitu. Suara justru menyebar ke calon alternatif.
Dari sejumlah survei, 65-68% publik menghendaki presiden baru. Meminjam istilah Mardani Ali Sera: 2019 ganti presiden. Tapi sayangnya, tak ada tanda suara itu berpindah ke Prabowo. Ditambah lagi fakta bahwa suara Gerindra naik, tapi tidak suara Prabowo. Ternyata, dalam konteks Gerindra, faktor tokoh berbeda dengan nasib partai. Tidak linier.
Situasi ini kabarnya membuat Prabowo berhitung dua kali jika ingin maju. Selain sejumlah faktor lain sebagai pertimbangannya. Faktor lain itu diantaranya, pertama, sulitnya membranding Prabowo. Setelah “vakum” berada di luar pemerintahan, agak sulit menjual potensi yang dimiliki Prabowo.
Jualan masa lalu tak mudah. Karena rentang waktunya terlalu jauh. Apalagi, pemilih terbesar 2019 adalah kalangan ibu-ibu dan milenial. Mereka lebih suka yang muda dan segar.
Meski Jokowi dianggap bermasalah soal janji politik, kinerja dan pola komunikasinya, tapi harus diakui masih ada yang bisa dijual. Sejumlah investasi, terutama infrastruktur, masih bisa jadi iklan. Belum lagi pembagian hadiah lahan kepada rakyat. Dan yang paling populer adalah bagi-bagi sepeda. Lepas dari isu pencitraan, Jokowi masih bisa jualan. Beda dengan Prabowo.
Kedua, dukungan internasional. Isu HAM membuat dunia internasional agak berat memberikan dukungan kepada tokoh bangsa dan figur yang satu ini.
Ketiga, soal bohir. Diprediksi, Prabowo akan kesulitan mendapat dukungan dana. Para pendana hanya akan mendanai calon yang punya harapan menang. Sementara Prabowo selama menjadi oposisi kabarnya kesulitan keuangan untuk mendanai partainya.
Padahal, nyapres butuh dana yang tidak kecil. Faktor ini kabarnya telah mendorong sejumlah orang terdekat Prabowo “ngotot” mendesak Prabowo menerima pinangan Jokowi sebagai cawapres. Akibatnya, muncul reaksi masif dari kader-kader yang lain dan “memaksa” Prabowo maju di 2019. Majunya Prabowo akan menutup peluang jadi cawapresnya Jokowi.
Keempat, majunya Prabowo membuat partai yang ingin bergabung dalam koalisi akan tarik diri. PAN misalnya, tak minat dukung Prabowo. Tapi PAN siap bergabung jika ada calon yang lebih meyakinkan. Tidak menutup kemungkinan juga Demokrat. Bagaimana PKB? Selama ini PKB sudah lirik kanan-kiri untuk melabuhkan pilihan politiknya.
Siap keluar dari koalisi istana setelah hubungannya dengan istana akhir-akhir ini agak merenggang. Tapi, PKB hampir bisa dipastikan tidak akan dukung Prabowo. Dukung AHY? Trauma pilgub DKI. Sepertinya gak ingin masuk lubang kedua kali.
Di sisi lain, Jika Prabowo nekat maju, maka potensi para bakal calon yang lain akan berguguran. Mereka akan kehilangan kesempatan. Ikhtiar mereka untuk menguji elektabilitas akan terkunci. Sebab, 73 kursi Gerindra adalah satu-satunya peluang yang masih terbuka bagi para tokoh seperti Anies Baswedan, Gatot Nurmantyo, TGB, Anis matta, Ahmad Heryawan, Sohibul Iman, Hidayat Nurwahid, Mardani Ali Sera, Rizal Ramli, Muhaimin Iskandar dan tokoh-tokoh yang lain untuk menguji peluang.
Kabarnya, saat ini sedang ada gerakan ulama dan sejumlah simpul umat untuk meminta Prabowo urung deklarasi di akhir maret ini dan memilih jadi “King Maker”. Posisi ini yang nampaknya paling tepat untuk Prabowo. Bahkan sudah mulai ramai di medsos sebuah pernyataan: Jika Prabowo maju, mereka akan dukung lawan Prabowo. Ini semacam pernyataan kecewa dan putus asa. Sebagian mereka menganggap bahwa majunya Prabowo adalah bagian dari sekenario istana.
Pertarungan ulang Jokowi vs Prabowo dianggap tidak lagi menarik, lesu darah dan tak enak ditonton. Pasalnya, pemegang sabuk juara yaitu Jokowi, punya persiapan matang; mulai dari timses, dana hingga partai pendukung, dengan latihan selama lima tahun. Sementara sang penantang yaitu Prabowo, hampir tak punya persiapan apa-apa. Tak ada ruang untuk berlatih. Belum lagi faktor usia. Sebuah pertandingan yang tak seimbang.
Politik memang tak sepenuhnya bisa diprediksi. Tapi, politik tetap butuh kalkulasi. Tidak ada yang tau apa yang akan terjadi di 2019. Siapa tokoh yang pada akhirnya berkesempatan maju melawan Jokowi. Apakah Prabowo, atau tokoh alternatif. Semua masih terbuka, cair dan dinamis.
Publik menilai, setidaknya hingga saat ini, Prabowo adalah seorang nasionalis sejati. Tokoh bangsa yang lebih mementingkan kepentingan bangsa dari pada diri sendiri dan ego partainya.
Oleh Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa, Tony Rosyid