Artikel ini ditulis oleh Salamuddin Daeng, Pengamat Ekonomi Energi.
Cita cita Presiden Prabowo dalam membangun ekonomi Indonesia amatlah besar. Memberi makan orang miskin, memelihara anak yatim, menyekolahkan anak anak Indonesia seluruhnya dan banyak lagi untuk mengakhiri segelas ketertinggalan dan keterbelakangan yang dialami bangsa dan negara Indonesia.
Semua itu membutuhkan sumber daya ekonomi yang sangat besar, membutuhkan modal yang kuat, membutuhkan uang yang sangat banyak. Sementara Indonesia mengalami masalah utama yakni (1) Sumber daya ekonomi tersedia terutama uang serba sedikit. (2) Uang yang sedikit tidak terdistribusi secara baik namun tekonsentrasi di tangan segelintir orang. (3) Uang yang sedikit dikorupsi oleh segelintir orang lalu disimpan di rumah nya, ditimbun dan ditumpuk. Semua itu membuat kapasitas ekonomi bangsa dan negara Indonesia menjadi kurus kering ibarat ikan teri dijemur lama.
Maka Prabowo selaku Presiden segera setelah dilantik sebagai presiden pergi ke luar negeri, mengelilingi berbagai negara, menghadiri pertemuan berbagai organisasi multilateral, semua dilakukan untuk mencari uang untuk bangsa Indonesia. Kerja yang sangat keras untuk mencari dana dalam untuk membiayai misi yang besar. Cuma sayangnya sekarang semua negara di dunia kesulitan dana dan tidak mungkin dapat membagi dalam jumlah yang berarti kepada Indonesia. Semua negara di dunia sedang sibuk mambangun pertahanan keuangannya ditengah gempuran digitalisasi, climate change dan kejahatan keuangan internasional. Negara negara yang tadinya katanya kaya sekarang sibuk mencari utang, menagih piutangnya yang tersisa dan tidak memiliki keleluasaan untuk membagi uang kepada Indonesia.
Sekembalinya dari lawatan ke luar negeri dapat dipastikan tidak akan banyak uang yang dibawa ke Indonesia dikarenakan geopolitik yang tidak memungkinkan. Satu satunya pilihan strategis Presiden Prabowo adalah kembali menghitung segenap kekuatan dalam negeri, segenap kekuatan Indonesia, terutama kekuatan keuangannya, untuk membiayai visi misi Presiden yang besar dan mulia. Kekuatan indonesa adalah sumber daya alamnya, iklimnya, lingkungannya yang strategis, keuangannya yang sangat besar.
Transfer Of Power
Sayangnya kekuatan keuangan Indonesia tidak berada di tangan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kekuatan keuangan Indonesia telah dipindahkan ke tangan pihak swasta yang merupakan bagian dari jaringan keuangan global. Pemindahan kekuasaan tersebut telah dilakukan pada saat amandemen UUD 1945 sehingga secara sah dan legal jaringan kekuasaan keuangan global mengendalikan atau mengontrol keuangan Indonesia. Sertiap sen yang dihasilkan dalam jerih payah ekonomi Indobesia mengalir ke kantong kantong jaringan keuangan global.
Apa buktinya? Bukti itu ada didepan mata. Perhatikan tambahan dalam APBN Indonesia setiap tahun hanya sekitar Rp300-Rp400 triliun. Sementara pada saat yang sama setiap tahun anggaran APBN harus membayar utang dan bunga utang sebesar Rp500-Rp600 triliun. Tidak hanya itu APBN Indonesia mengalami defisit dan harus menambah utang baru senilai Rp700-Rp800 triliun setiap tahun. Apa arti data itu? Ekonomi Indonesia itu sepenuhnya bekerja sebagai abdi dari jaringan keuangan internasional yang ada di dalam negeri. Ekonomi Indonesia tidak akan pernah dapat meningkatkan atau memambah kapasitasnya namun akan terus menyempit atau mengecil. Apakah ada contoh lain? Banyak! Tapi saya tidak akan kemukakan di sini.
Bagaimana situasinya bisa seburuk itu? Bagaimana transfer kekuasan itu diikuti dengan transfer uang dan transfer of capacity ke tangan jaringan keuangan global? Prosesnya dilakukan secara terbuka melalui Amandemen UUD yang berkaitan dengan politik, keuangan dan ekonomi. Sebetulnya itu bukan Amandemen UUD akan tetapi UUD yang baru dengan segenap kaidah kaidah baru dalam penguasaan keuangan, sumber daya alam, ekonomi dan pasar Indonesia. Sehingga seluruh kekuasan atas sumber daya ekonomi dan politik tidak ada lagi di tangan negara namun dipindahkan ke tangan swata dan jaringan keuangan Internasional.
UUD Indonesia yang baru yang dibuat dalam tahun 1998-2002 itu berisikan (1) Kekuasaan politik berada ditangan oligarki swasta dan asing (2) Kekuasaan keuangan berada ditangan kekuasaan keuangan internasional bersama institusi keuangan dalam negeri seperti Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, dan lembaga pendukungnya yakni perbankkan. (3) Kekuasaan atas bumi air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya berada di tangan swasta dan jaringan keuangan internasional.
UUD baru pengganti UUD 1945 menjadi dasar bagi pemindahan kekuasaan keuangan kepada swasta melalui empat bidang UU yakni (1) Undang Undang yakni UU bank Indonesia, (2) UU sistem moneter dan lalu lintas devisa atau sering disebut UU devisa bebas, (3) UU perbankan, asuransi dan sejenisnya, serta (4) seluruh UU Investasi, migas, energi, kehutanan dan sumber daya alam lainnya. UUD dan turunannya tersebut telah secara utuh memindahkan kekuasaan negara ke tangan swasta dan jaringan keuangan Internasional.
Hal itulah yang menyebabkan negara selalu tidak punya uang, negara harus berhutang bank Indonesia dan kepada swasta baik swasta nasional maupun asing. Selanjutnya uang negara yang sedikit tersebut digunakan untuk membayar utang kepada swasta dan asing serta lembaga keuangan internasional yang menjadi jaringan swasta tersebut. Karena akumulasi utang semakin besar maka akumulasi kewajiban juga semakin besar. Akibatnya kapasitas negara semakin kecil dan kapasitas swasta makin besar.
Proklamasi Kemerdekaan Kembali
Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 bukan sekedar kata kata atau ucapan namun suatu deklarasi pemindahan kekuasaan. Dasar bagi pemindahan kekuasaan adalah pembukaan UUD 1945. Kekuasaan pertama tama harus dipindahkan dari tangan penjajah atau dari tangan kolonial ke tangan bangsa Indonesia. Lalu bangsa Indonesia, etnis, suku, bangsa, raja raja Indonesia, pemuka agama, elite terdidik Indonesia, para pemuda Indonesia, semua, bersama sama membentuk pemerintahan Indonesia merdeka dengan dasar Pancasila dan UUD 1945.
Tahun 1998-2002 ditengah kekacauan dan kepanikan masyarajat kerana krisis ekonomi buatan atau krisis yang direkayasa, jaringan keuangan Internasional bersama segelintir elite Indonesia yang sejak lama bekerja menjadi karyawan mereka, membuat UUD yang baru beserta UU pendukung nya, yang secara efektif memindahkan kekuasaan politik, cabang cabang kekuasaan politik, uang dan segenap sumber daya perekonomian, ke tangan swasta dan jaringan keuangan internasional. Melalui berbagai regulasi jaringan keuangan internasional memindahkan sedikitnya 630,13 triliun rupiah yang dari tangan negara ke tangan swasta melalui BLBI dan KLBI. Jumlah yang sangat besar yakni sekitar 6 -7 kali APBN Indonesia saat itu. Inilah modal mereka mengakhiri Kemerdekaan Bangsa Indonesia.
Sekembalinya Presiden Prabowo dari luar negeri, jika tidak mendapatkan uang sebagaimana harapan (syukur syukur dapat uang) harus mulai menghitung kapasitas uang di dalam negeri. Yakni uang yang harus dipindahkan dari tangan swata beserta jaringan keuangan internasional yakni, uang dalam peredaran yakni M2 senilai 8973 triliun rupiah yang selama ini telah disalahgunakan dan uang senilai 11000 triliun rupiah yang disimpan di luar negeri secara ilegal di dalam rekening rekening rahasia. Semua uang itu harus dikembalikan sebagai milik negara dan dikelola didalam sistem UU kemerdekaan 17 Agustus 1945. Pemindahan kekuasaan keuangan adalah tonggak utama untuk kembali kepada UUD 1945. Seperti bagaimana awalnya dimulai dengan memindahkan uang ke tangan bangsa Indonesia melalui UUD 1945.
[***]