PERNYATAAN Prabowo Subianto yang menyatakan Indonesia sebagai negara akan bubar pada 2030, telah menuai banyak reaksi.
Menurut hemat kami dalam kultur pergunjingan sosial (social discourse) itu biasa saja.
Pertama, sebenarnya negara “bubar” atau negara gagal (failed state) merupakan istilah yang sering dijadikan kajian dalam ilmu tentang negara.
Kedua, memang sepanjang peradaban kontemporer manusia sudah ada 10 negara yang bubar. Yang terakhir adalah negara Soviet dan negara-negara Balkan lainnya.
Sedangkan dalam sejarah peradaban lama, banyak kerajaan, kesultanan, kesunanan, dan kekhalifahan yang bubar.
Inggris, Belanda, Jepang, Denmark, dan Thailand masih mempertahankan kerajaan secara simbolis.
Di Indonesia sisa-sisa kerajaan lama juga masih ada walau secara tentatif sudah tidak ada pengaruhnya.
Jadi negara atau kerajaan sebagai wujud dari lembaga suatu entitas sosial bisa timbul dengan adanya negara yang baru merdeka dan juga ada yang hilang atau samar-samar. Yang terakhir ini misalnya Angola.
Negara Arab yang sedang bergolak seperti Suriah, Lebanon, Afghanistan disebut sebagai negara yang sedang dalam proses “menjadi negara” kembali.
Sedang negara yang tidak mampu memenuhi kriteria sebagai negara disebut negara gagal.
Beberapa ahli mempertanyakan tentang negara-negara Afrika yang sudah tidak mampu membayar utangnya, sehingga utang mereka harus dibayar negara lain , seperti Jerman dan China.
Negara-negara tersebut disebut under curatelle’, karena eksistensinya dalam penguasaan atau perwalian negara lain.
Indonesia pada waktu krisis moneter dan IMF datang pada waktu itu sudah mendekati kondisi tersebut. Tetapi setelah dihitung aset dan cadangan sumberdaya alam yang tersisa, kita di bawah pengawasan dan pendampingan IMF setelah menandatangani Washington Concencus.
Kita memang harus tetap optimis memandang masa depan Bangsa dan Negara Indonesia. Untuk itu Indonesia harus bisa memenuhi kriteria atau syarat-syarat sebagai satu negara seperti ditentukan oleh PBB.
Yang itu semua tercermin dalam konstitusi kita (UUD 45 beserta revisinya) sebagai satu negara yang merdeka dan berdaulat. Bertolak dari sini ada pertanyaan-pertanyaan mendasar. Apakah benar kita memiliki wilayah, memiliki rakyat, memiliki otoritas yang diakui ke dalam dan ke luar.
Lebih dalam lagi adalah apakah wilayah tersebut dalam penguasaan kita sepenuhnya, dan negara memiliki kuasa untuk mengaturnya.
Kemudian apakah masih ada rakyat yang masih mengaku sebagai warga negaranya dan warganegara memberi mandat kepada negara yang akan ditugaskan melayaninya.
Kemudian apakah relasi antara rakyat (society) dengan negara (state) cukup sehat. Apakah hubungan ini simetris atau asimetris. Terakhir pertanyaannya apakah negara ini dipilih oleh rakyat secara hakekat.
Bagaimana pemilihan umum dilakukan? Terakhir sebagai otoritas yang dipilih rakyat, mampukah menjaga keamanan dalam negeri dan pertahanan dari ancaman musuh dari luar. ‘Last but not least’ mampukah negara menjalan kedaulatan di tengah bangsa-bangsa lain.
Tentu tidak perlu membaca buku Ghost Fleet karangan PW Singer, jika jawaban atas pertanyaan tersebut cenderung negatif maka kita memasuki fase negara gagal, negara dalam perwalian negara lain, dan terakhir akan bubar jalan.
Marilah kita tetap optimis menyambut masa depan seperti dikatakan Presiden Joko Widodo. Optimis apa? Optimis untuk memenuhi syarat-syarat Indonesia sebagai sebuah negara yang berdaulat secara politik, berdikari secara ekonomi, dan berdaulat sebagai bangsa.
Oleh S Indro Tjahyono, Tokoh Pergerakan, Eks Aktivis Mahasiswa