SEPANJANG ingatan penulis, Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri tidak pernah bertemu dengan Ketua Umum DPP Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono sejak tahun 2004 atau sejak SBY menjadi Presiden selama dua periode hingga tahun 2014.
Keduanya akhirnya baru bertemu dan saling bersalaman saat pemakaman Ibu Ani Yudhoyono di Taman Makam Pahlawan Kalibata Jakarta, 2 Juni 2019 lalu. Sebelumnya Megawati juga bertemu SBY secara tidak sengaja karena Ketua MPR-RI Taufik Kiemas yang juga suami Megawati, meninggal dunia pada bulan Juni 2013.
Selama menjadi Presiden ke-6, SBY telah berusaha menjalin komukasi agar bisa melakukan rekonsiliasi dengan Megawati Soekarnoputri. Tapi upaya itu selalu kandas bahkan sepanjang SBY menjadi Presiden selama sepuluh tahun, Megawati tidak pernah sekalipun hadir pada setiap acara peringatan HUT Kemerdekaan RI 17 Agustus di Istana Negara Jakarta.
Dengan sikapnya itu apakah kemudian Megawati dianggap tidak konstitusional karena tidak mengakui dan menghormati SBY sebagai Presiden RI ke-6 ?
Kan enggak. Apakah Megawati dikriminalisasi, dicari-cari kesalahannya oleh SBY? Kan enggak juga.
Apakah waktu itu ada pengurus atau kader yang disodorkan PDI Perjuangan yang masuk ke jajaran pemerintahan selama SBY menjadi Presiden selama dua periode? Juga tidak ada.
Megawati dan partai yang dipimpinnya konsisten berada di barisan oposisi, berperan sebagai partai yang berseberangan dengan pemerintah. Apakah salah? Apakah melanggar konstitusi? Dalam negara demokrasi seperti Indonesia, sikap Megawati dan PDI-P tentu tidak salah. Justru seharusnya begitulah sikap pemimpin partai oposisi. Tugasnya melakukan ‘check and balance’ terhadap jalannya pemerintahan.
Lalu mengapa sekarang Joko Widodo sibuk membujuk Prabowo Subianto agar mau bertemu dan melakukan rekonsiliasi dengannya? Bukankah Prabowo-Sandi sudah menyatakan menerima keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) walaupun dengan rasa kecewa.
Perlukah Prabowo juga memberi ucapan selamat kepada Presiden yang telah dimenangkan KPU? Permintaan kubu Jokowi agaknya terlalu lebay juga. Setelah menang dengan cara curang, rupanya kubu Jokowi belum merasa tenang sebelum Prabowo dan Gerindra berhasil mereka rangkul.
Jika merujuk pada Pilpres 2014, waktu itu Jokowi sengaja mengadakan safari politik dengan mengunjungi kediaman Prabowo Subianto di Jalan Kartanegara Jakarta. Tujuannya untuk merangkul parpol koalisi pro Prabowo. Setelah Jokowi dan Prabowo salaman, Partai Golkar salah satu parpol pendukung Prabowo langsung lompat pagar merapat ke kubu Jokowi-Jusuf Kalla dan mendapat jatah menteri dan kursi Ketua DPR-RI.
Partai lain pro Prabowo yang juga mendapat konsesi adalah PAN. Meskipun waktu itu Ketua Umum PAN Hatta Rajasa batal jadi wapres, namun partainya mendapat jatah kursi Ketua MPR RI yang hingga kini dipegang oleh Zulkifli Hasan. Perjalanan politik berikutnya, Zulhas terpilih sebagai Ketua Umum PAN menggantikan Hatta Rajasa.
Sedangkan Partai Gerindra dan PKS waktu itu tetap berada di luar pemerintah sebagai partai oposisi. Sama dengan Pilpres 2019, pada pilpres lima tahun lalu juga terjadi pertarungan yang cukup keras baik diantara parpol pendukung Jokowi dengan parpol pro Prabowo. Sementara masyarakat terbelah dua sama seperti sekarang. Keberpihakan media ‘mainstream’ tidak berubah, secara kasat mata sejak 2014 hingga sekarang tetap mendukung kubu Jokowi.
Pada Pilpres 2014, boleh dibilang persaingan yang keras dan ketat hanya terbatas pada level kader dan para simpatisan parpol. Oleh karena itu setelah proses rekonsiliasi dan bagi-bagi kursi kekuasaan selesai, semua elite dan kader parpol tidak ribut lagi dan menganggap proses politik sudah selesai.
Sementara rakyat yang telah menjatuhkan pilihannya pada pasangan Prabowo-Hatta Rajasa, dilepeh begitu saja. Mereka dibutuhkan hanya menjelang pemilu dan pilpres saja. Setelah pilpres berakhir, suara rakyat dianggap tidak ada.
Strategi politik yang hendak dilakukan kubu Jokowi sekarang sama seperti tahun 2014. Dengan dalih untuk menghindari kemungkinan terjadinya gerakan boikot pada pelantikan Jokowi-Jusuf Kalla, perlu ada rekonsiliasi dengan kubu Prabowo-Hatta Rajasa.
Kini alasan yang dipakai kubu Jokowi dalam merangkul pihak oposisi, untuk meredam ketegangan di lapis bawah (‘grass root’). Strategi menyerang dan merangkul lawan politik ini bagaikan
pertandingan tinju. Satu sama lain saling memukul, kemudian begitu terdesak sengaja merangkul supaya pihak lawan tidak memiliki ruang untuk memukul lagi.
Begitulah cara politik Machiavelli, berpolitik hanya untuk meraih kekuasaan semata. Segala cara dilakukan termasuk melakukan kecurangan.
Keinginan dan ajakan kubu Jokowi untuk rekonsiliasi dibarengi dengan iming-iming pemberian jatah menteri dan kedudukan penting lainnya di pemerintahan. Menghadapi gencarnya berbagai upaya pendekatan ke kubu Prabowo-Sandi, sejumlah kalangan berusaha memberi penguatan kepada keduanya agar tetap konsisten sebagai oposisi. Jangan pernah mau bertemu dan melakukan rekonsiliasi.
Bagaimana dengan parpol pendukung Prabowo-Sandi lainnya?. Seperti sudah kita ketahui bersama, Partai Demokrat sejak masa kampanye telah menyeberang ke kubu Jokowi karena Agus Harimurti, salah satu putra kesayangan SBY, telah dijanjikan kursi menteri dalam kabinet Jokowi-Ma’ruf Amin.
Demikian juga PAN, ada kecenderungan untuk merapat ke kubu Jokowi. Sebaliknya PKS sudah sejak awal menyatakan untuk berada di luar pemerintahan sebagai oposisi. Sementara parpol yang mengatasnamakan Islam seperti PKB dan PPP, dalam setiap Pemilu selalu menjadi bagian dari penguasa.
Pendekatan yang kini sedang gencar dilakukan kubu Jokowi lebih banyak ditujukan kepada para elit Partai Gerindra dan Prabowo-Sandi. Beberapa elit Partai Gerindra, nampak ada yang telah “masuk angin”. Mereka mulai tergiur dengan iming-iming kursi menteri yang ditawarkan Jokowi-Ma’ruf Amin.
Sejumlah orang di Partai Gerindra yang kerap mengemukakan pendapat tentang pentingnya rekonsiliasi berdalih bahwa beroposisi tidak harus di luar pemerintahan tapi juga bisa masuk ke dalam pemerintah, mengontrol dari dalam. Ini pernyataan klasik yang banyak kamuflasenya.
Sebaliknya anggota Dewan Penasihat Partai Gerindra M Syafii, lebih menginginkan partainya tetap menjadi oposisi.
“Saya kira dalam demokrasi yang sehat ada dua pilar yang sangat baik, yaitu partai pendukung dan oposisi. Saya kira demokrasi tidak akan sehat kalau semua partai yang ada menjadi partai pendukung pemenang pemilu. Harus ada yang bersikap oposisi,” ujar Syafii di Kompleks Parlemen, Jakarta Selatan, Senin (1/7/2019).
Di balik gencarnya strategi politik yang kini dijalankan kubu Jokowi timbul sejumlah pertanyaan yang mengemuka di kalangan masyarakat.
Apakah ajaka rekonsiliasi itu murni hanya ingin merangkul Prabowo-Sandi dan parpol pendukungnya? Atau ada target lain yakni ingin menjauhkan sosok Prabowo-Sandi dengan para pemilihnya terutama kalangan umat Islam dan para ulama yang mendukungnya.
Berbeda dengan Pilpres 2014, dalam pilpres kali ini Prabowo mendapat dukungan luas dari kalangan umat Islam, para ulama serta emak-emak militan. Sehingga kalau Prabowo sampai menerima ajakan untuk bertemu atau melakukan rekonsiliasi, sama artinya dia telah mencederai kepercayaan rakyat yang telah memilihnya dalam Pilpres 2019.
Lebih dari itu, jika Prabowo sampai menerima bujuk rayu dan iming-iming dari kubu sebelah, maka dia tidak menghargai pengorbanan rakyat yang menjadi korban dalam kerusuhan tanggal 21-22 Mei 2019.
Sebagai penutup tulisan ini, saya ingin mengutip kalimat yang disampaikan dr Ani Hasibuan melalui twitternya.
“Sebenarnya ini bukan soal Prabowo dan Jokowi. Ini tentang rakyat yang tidak mendapat keadilan. Jadi kalau Pak @prabowo dan @sandiuno mau pelukan dengan kubu sebelah, mangga aja. Kita tidak butuh mereka kok. Ada Allah SWT tempat bersandar”.
Wallahu a’lam.
Oleh Tjahja Gunawan, Wartawan Senior