PENGHITUNGAN perolehan suara belum selesai. Namun kita wajib berucap syukur bahwa syarat demokrasi, yakni pemilu, sudah berjalan dengan lancar.
Khususnya dalam pelaksanaan pilpres, kita patut mengapresiasi Prabowo Subianto yang sudah tiga kali menempuh jalan demokrasi untuk menjadi presiden.
Berbeda dengan calon dari incumbent, semangat dan militansi pendukung pasangan calon (paslon) 02 Prabowo-Sandi, ternyata lebih besar.
Perolehan suara pilpres untuk paslon 02 cukup solid (di atas 80%) di beberapa propinsi dan kabupaten. Paslon 02 juga berhasil mengerahkan saksi yang bekerja dengan cermat dan bersemangat.
Bahkan di beberapa kabupaten paslon 02 juga mampu membuat perolehan suara incumbent menurun dibanding tahun 2014. Prestasi ini tentu sangat luar biasa.
Ini tentu akibat dari publikasi pada media sosial para pendukungnya, termasuk kampanye ‘door to door‘, yang sangat gencar.
Kalau di sana sini kampanye pada medsos menyinggung perasaan dan melanggar hukum, itulah ekses dari pelaksanaan demokrasi.
Yang mengesankan adalah pada saat Prabowo didaulat maju kembali sebagai calon presiden walau ini untuk ketiga kalinya.
Jika saja Prabowo tidak bersedia mencalonkan diri sebagai presiden, maka demokrasi Indonesia akan dipandang cacat, karena tidak mampu menghadirkan calon pemimpin alternatif.
Dalam hal ini patut pula dihargai para faksi pendukung yang berjanji akan memenangkannya jika Prabowo kembali menjadi presiden.
Berapa besar kontribusi moral dan material yang telah dikeluarkan paslon 02 dan para pendukungnya harus diapresiasi sebagai ongkos dalam menegakkan demokrasi di Indonesia.
Ini adalah suatu pengorbanan, baik dari paslon 01 maupun paslon 02. Karena pemilu terbuka tidak menjanjikan kemenangan belaka, tetapi juga kekalahan.
Dalam konteks keikut-sertaan dalam beberapa kali Pemilu, berbeda dengan kandidat presiden dan wakil presiden lain, Prabowo memiliki beban masa lalu.
Tetapi beban tersebut secara pribadi dan kolektif bisa di atasi, sehingga demi pengabdian kepada tanah air ia tetap mencalonkan diri.
Bahkan pada Pilpres 2019, Prabowo mendapat dukungan yang luas dari insan-insan yang militan.
Dalam kampanyenya Prabowo telah menempatkan diri sebagai politisi yang memiliki yang strategi yang sistemik dan multi dimensional.
Hal ini tentu merupakan suatu kemajuan bagi dunia politik di Indonesia. Sedang sebelumnya masih digunakan sistem konvensional dan tanpa ‘system approach’.
Hal ini dibuktikan dengan pemanfaatan IT (medsos) dan pemilihan ‘strategic issue‘ yang terukur dan terarah. Bahkan telah mempersiapkan kompetisi sejak jauh- jauh hari.
Dalam berbagai survei, paslon 02 adalah pihak yang paling mengandalkan pada “serangan” udara. Walau serangan darat juga dilakukan bersamaan dengan syiar keagamaan.
Dari pengamatan, para pendukung paslon 02 paling serius dan kontinyu mengkritisi keberadaan dan kinerja KPU. Kritik diberikan mulai dari KTP, kewarganegaraan, hak suara, kardus kotak suara, kertas suara, dan daerah pemilihan.
Rasanya baru pada tahun Pemilu 2018 ini, KPU mendapat pengawasan publik yang begitu hebat.
Karena itu bisa dipastikan jika kecurangan hampir tidak ada. Apalagi ‘quickcount‘, sebagai lembaga pengawasan publik, tetap diperbolehkan oleh Mahkamah Konstitusi dengan pengaturan waktu tayang pada pukul 15.00.
Selain itu masing-masing kontestan membentuk lembaga quickcount sendiri-sendiri, yang memaksa KPU harus melaksanakan prinsip luber dan jurdil secara konsisten dan konsekuen.
Mengingat pengorbanan yang begitu besar melalui koridor demokrasi konstitusional, pada tahap akhir proses demokrasi, besar harapan kita semua agar pasangan Prabowo-Sandiaga Uno tetap menghormati konstitusi.
Proses pemilihan legislatif dan pemilihan presiden sudah memasuki tahap final. Hendaknya tetap sabar menunggu pengumuman KPU secara resmi siapa yang menang dan siapa yang kalah.
Proses yang telah diawali dengan niat baik, selayaknya tidak diakhiri dengan hal-hal yang berlawanan dengan konstitusi.
Oleh S Indro Tjahyono, Aktivis Senior