SENIN 28 Januari 2019, Wapres Jusuf Kalla memantau titik macet Jakarta. Naik helikopter, dia duduk bersama Gubernur Anies, Menkeu Sri Mulyani dan Menhub Budi Karya Sumadi.
Ini bahasa politik. Maret 2014, Gubernur Joko Widodo menyatakan masalah banjir dan macet mudah diatasi bila jadi presiden.
Sebuah pernyataan double bladed naginata sword. Nyerang Presiden SBY sekaligus menginjeksi halusinasi rakyat.
Nyatanya, 5 tahun Joko Widodo berkuasa sebagai Presiden, dua masalah itu tetap parah. Banjir berkurang setelah Anies Baswedan jadi gubernur.
Karena itu, Wapres Jusuf Kalla bermanuver naik helikopter mengingatkan rakyat soal janji kosong 5 tahun lalu.
Keliatan Wapres Jusuf Kalla sudah gerah. Belum lama dia marah-marah biaya pembangunan LRT 1 kilonya Rp500 miliar.
Jika di-break-down, biaya itu menjadi Rp500 juta 1 meter, 5 juta 1 centimeter dan 1 milimeter berbudget Rp500 ribu rupiah.
Wapres Jusuf Kalla juga mengkritik pola pembangunan infrastruktur tidak tepat sasaran. Palembang sedikit penduduk, tapi dibangun LRT. Alhasil, cuma jadi ‘tourist attractions‘.
Jauh sebelum itu, orang-orang Jusuf Kalla disingkirkan dari kabinet. Anies Baswedan dan Sudirman Said contohnya. Kebijakan impor Joko Widodo merugikan Bosowa Corp dan banyak perusahaan domestik. Ekonomi dan daya beli lemah.
Sebagai Ketua Umum DMI, Wapres Jusuf Kalla menginstruksikan semua pengurus Dewan Masjid untuk membakar tabloid “Indonesia Barokah” yang bermuatan menyerang Paslon Prabowo-Sandi dengan isu ‘black campaign’ dan fitnah.
Sekali pun, tabloid ini menguntungkan Kubu Paslon Jokowi-Maruf Amin, namun kontennya bersifat merusak demokrasi. Di medsos, Ipang Wahid marak disebut-sebut sebagai otak di balik beredarnya tabloid ini.
Satu tugas unfinished Wapres Jusuf Kalla sebagai seorang negarawan. Dia mesti tekan Joko Widodo supaya cuti atau mundur dari jabatan presiden. Sehingga kampanye pilpres bisa lebih fair.
Selama Joko Widodo berperan sebagai presiden dan capres sekaligus, niscaya KPU akan terus berulah aneh-aneh.
Oleh Zeng Wei Jian, Aktivis Tionghoa