KedaiPena.Com – Sekretaris Jenderal PPP Arsul Sani mengingatkan agar setiap elemen masyarakat sipil atau lembaga swadaya masyarakat tertentu (LSM) untuk tidak hanya melihat peristiwa G-30 S/PKI sebagai pembunuhan massal.
Tetapi, juga melihat sebagai peristiwa yang berdiri sendiri dan melepaskannya dari perjalanan sejarah perilaku politik dan kekuasaan PKI sejak Indonesia merdeka sampai peristiwa G-30-S/PKI tersebut.
Demikian diungkapkan Arsul saat menanggapi insiden pembubaran diskusi publik yang mengangkat kembali isu tentang pembunuhan anggota atau pengikut PKI menyusul peristiwa G-30-S/PKI yang gagal memberontak dan mengambil alih kekuasaan.
“Teman- teman LSM cenderung melewatkan sejarah PKI dan karenanya melewati sudut-sudut faktual tentang perilaku PKI sebelumnya,” ujar Arsul dalam siaran pers kepada KedaiPena.Com, Senin (18/9).
Lebih lanjut, Sekjen PPP menambahkan bahwa kebiasaan over dosis dalam mengangkat isu anggota atau simpatisan PKI ini sebagai korban politik rezim pemerintahan, khususnya orde baru bisa secara nyata dilihat dari berbagai fakta.
“Mereka misalnya lebih banyak bicara soal korban pembantaian tahun 1965 ketika bicara pelanggaran HAM berat. Sampai dibuat Pengadilan Rakyat (People Tribunal) di Den Haag, Belanda dua tahun lalu. Padahal peristiwa yang diduga sebagai pelanggaran HAM berat bukan hanya soal dugaan pembantaian terhadap anggota atau simpatisan PKI tahun 1965,” ujar Arsul.
“Bahkan, seharusnya kalau berangkat pasca Kemerdekaan tahun 1945 seharusnya dirunut dari korban-korban pemberontakan PKI Madiun tahun 1948. LSM-LSM ini juga gagal melihat bagaimana perilaku PKI ketika mendapatkan angin di kekuasaan pada zaman Nasakom,” sambung Anggota Komisi III DPR RI ini.
Sekjen PPP ini selanjutnya mengajak agar elemen-elemen masyarakat sipil agar proporsional dan historis-kontekstual dalam melihat permasalahan peristiwa tahun 1965 tersebut.
“Jangan diambil sepotong-potong, karena akan justru menimbulkan segregasi baru di masyarakat”, pungkasnya.
Laporan: Muhammad Hafidh