KedaiPena.Com – Ada‎ ketidakberesan dalam. Proses demokrasi ‎di Indonesia. Ini terlihat dengan fenomena yang terjadi jelang pilkada serentak jilid II yang akan dilakukan tahun 2017 mendatang.
Salah satunya, berlarutnya perpecahan di tubuh Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Ini berimbas pada pemberian tiket kepada calon kepala daerah yang tidak jelas, kubu Djan Faridz atau kubu Romahurmuziy.
Guru Besar Hukum Universitas Parahyangan, Prof Asep Warlan mengatakan, kalau mau fair, semua ini berawal dari ketidakbecusan MenkumHAM Yassona Laoly dalam bertindak.
‎
“Bagaimanapun, Ia tidak menghormati putusan MA yang dimenangkan kubu Djan. Itu awalnya. Lalu kemudian, kubu Romi (Romahurmuziy) diacak-acak. Ia pro Pemerintah, makanya pengurusnya dari Pemerintah,” jelas Asep.
Dan hal ini, berimbas ke Pilkada. Dan ini yang membuat banyak kader maju perseorangan. Jadi, sambungnya, fenomena yang terjadi jelang Pilkada ini adalah kolaborasi antara ketidakberesan demokrasi, diperparah oleh sikap Menkumham.‎
“Ini seperti menginjak-injak demokrasi, karena bermula Kemenkumham. Istilah Itu lebih lugas. Program yang tidak detil berimbas ini pada kekacauan, dan ini buahnya,” seru dia.‎
Lalu apa yang seharusnya dilakukan? Prof Asep menjelaskan, jika berkaca pada aspek yuridis formal, maka putusan pengadilan yang benar. Termasuk, MK harus segera mengambil putusan terkait dualisme ini. Sayangnya, sampai saat ini MK masih menggantungkan kasus ini.
‎
“Yang juga patut dicatat, realitas politik tidak bisa dinafikan. Harus ada ketidak selarasan. Ini cerminan dari sisi parpol. ‎Hukum dan politik diakomodir. Agar politik atau hukum, tidak saling mengangkangi. Kita takutnya ada ambisi kekuasaan yang besar. Dalau ini terjadi tidak akan ada saling legowo. Ini kembali ke aktor politik, agar mau untuk membangun demokrasi yang beradab,” tegas dia lagi.
‎
Sebelumnya, kepengurusan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) mengultimatum setiap bakal calon kepala daerah yang akan bertarung ‎di pilkada serentak 2017 jika meminta restu kepada kepengurusan PPP lainnya.
Demikian ultimatum ini disampaikan ‎PPP kubu Djan Faridz, di Jakarta, Rabu (21/9).
‎
‎Kepengurusan PPP hasil Muktamar VIII pada 30 Oktober 2014 sampai 2 November 2014 di Jakarta di bawah kepengurusan Djan adalah yang sah.
Hal ini sesuai dengan Putusan MA no 601 K/Pdt.sus.parpol/2015 tanggal 2 November 2015. Keputusan ini sudah berkekuatan hukum tetap (Putusan MA 601).
Dalam amar putusan MA 601 itu dijelaskan bahwa MA m‎engabulkan gugatan penggugat (kubu Djan Faridz) untuk menyatakan susunan kepengurusan PPP hasil Muktamar VIII pada tanggal 30 Oktober-2 November 2014 di Jakarta sebagaimana yang disahkan dalam Akta Pernyataan Ketetapan Muktamar VIII PPP.‎
Mengenai susunan personalia pengurusan dewan pimpinan PPP masa bakti 2014-2019 no 17 tanggal 7 November 2014, yang diakui MA adalah yang disahkan di hadapan H. Tedy Anwar SH. Spn. Notaris di Jakarta.
Lalu, menyatakan susunan pengurusan Muktamar VIII PPP di Surabaya pada tanggal 15-18 Oktober 2014 tidak sah dan batal demi hukum dengan segala akibat hukumnya.‎
Bahwa surat keputusan MenkumHAM no N-HH-07. Ah.11.O1/2014 tanggal 28 Oktober 2014 yang mengesahkan susunan kepengurusan hasil muktamar Surabaya di bawah Ketum H. Romahumurziy M.T (SK Menkumham 2014) sudah dibatalkan. Hal ini dilakukan oleh MA melalui putusan no 504 K/TUN/2015 tanggal 20 Oktober 2015 yang sudah berkekuatan hukum tetap (Inkrah) Putusan MA 504 jo Putusan PTUN Jakarta nomor 2017/Jo/2014/ PTUN/Jakarta tanggal 27 Februari 2015.
Berdasarkan penjelasan di atas, sehubungan dengan diadakannya pilkada serentak 207 (Pilkada 2017), klien kami selaku kepengurusan PPP yang sah, di bawah Ketum Djan Faridz menyatakan akan mengajukan tuntutan hukum baik secara hukum perdata maupun pidana kepada pihak yang meminta dan menggunakan rekomendasi PPP dari kepengurusan lain untuk mendaftarkan diri sebagai bakal calon kepala daerah.‎
Hal ini dilakukan karena tindakan tersebut sudah tidak menghormati supremasi hukum yang terkandung di Putusan MA 601.Â
Demikian pengumuman ini kami sampaikan, semata-mata demi menjunjung tinggi supremasi hukum di Indonesia dan demi mencegah kerugian materil dan imateril yang mungkin timbul di kemudian hari bagi bakal calon kepala daerah yang meminta dan menggunakan rekomendasi PPP dalam Pilkada 2017.‎
(Prw)‎