Artikel ini ditulis oleh Arief Gunawan, Pemerhati Sejarah.
Menurut beberapa versi sejarah tradisi mudik ternyata sudah terjadi sejak era Majapahit dan Mataram Islam.
Kekuasaan Majapahit yang luas mencakup Sri Lanka, Semenanjung Malaya, Tumasik (Singapura), kepulauan Filipina, Champa, dan sebagian Nusantara membuat Hayam Wuruk menempatkan para pejabatnya di wilayah-wilayah itu, yang pada waktu-waktu tertentu pulang ke Tanah Jawa untuk menghadap raja dan kembali ke kampung halaman.
Aktivitas yang sama juga terjadi pada masa Mataram Islam di abad 16. Para aparatur kerajaan yang menempati wilayah kekuasaan yang dipimpin Sultan Agung ini, meliputi Jawa-Madura, dan sebagian Kalimantan, seperti Sukadana (Kalimantan Barat) menjalani tradisi pulang mudik menjelang lebaran.
Hari ini mudik lebaran berlangsung di tengah paradoks dan frustrasi sosial, karena tidak adanya kemampuan berpikir out of the box dari pemerintah.
Frustrasi terjadi karena faktor akumulatif, seperti pertumbuhan ekonomi yang merosot tak pernah mencapai 6 %, yang berdampak pada menurunnya daya beli masyarakat, PHK masif, ditambah kebijakan pemerintah yang mencla-mencle sejak musim mudik 2020 lalu.
Aspek lain ialah paradoks berupa ketidakadilan seperti terjadinya korupsi terhadap dana Bansos. Suatu perbuatan culas yang melukai rasa kemanusiaan, dengan salah satu korbannya ialah kelompok disabilitas.
Ketidakadilan lainnya: TKA Tiongkok yang terus berdatangan di tengah tingginya pengangguran dalam negeri, masih terbelahnya masyarakat oleh isu agama, ketidakmampuan tim ekonomi di kabinet, terutama kebijakan-kebijakan Menkeu Terbalik Sri Mulyani yang tak mampu mengatasi persoalan ril yang dihadapi masyarakat.
Termasuk tentu ancaman Covid-19 yang belum reda, dan adanya trend kenaikan pandemi asal Tiongkok ini di sejumlah negara terdekat seperti Malaysia dan India.
Frustrasi sosial terutama memukul golongan masyarakat bawah yang umumnya merupakan tenaga kerja sektor informal. Mereka tetap nekat mudik walaupun menyadari sangat berbahayanya virus Covid-19.
Tidak sedikit dari mereka yang memutuskan untuk tidak kembali ke Jakarta, akibat faktor kesulitan ekonomi yang tidak memberikan harapan. Sehingga memilih tinggal di kampung halaman, dengan mencoba peruntungan baru yang juga belum tentu mereka dapatkan.
Beban frustrasi mereka kini bertambah berat karena sebelum pandemi pun perekonomian sudah sulit. Tak terjadi pertumbuhan yang signifikan dan tak ada solusi hasil cara berpikir out of the box dari pemerintah.
Cara berpikir out of the box sangat dibutuhkan dalam situasi abnormal seperti sekarang, sebab cara-cara normatif tidak akan mampu lagi dijadikan solusi.
Krisis besar yang melanda negeri ini membutuhkan tokoh dengan visi besar berciri problem solver. Bukan penguasa hasil TikTok atau pencitraan manipulatif seperti masuk gorong-gorong penjual pidato dan janji-janji.
Dalam konteks ini menjadi relevan perkataan tokoh nasional Dr Rizal Ramli yang ditulis di akun twitter-nya.
‘’All the golden ages of history always start with a huge crisis’’. Semua zaman keemasan dalam sejarah selalu diawali oleh krisis besar.
Pemimpin besar memang hanya lahir dari kemampuannya mengubah krisis menjadi peluang, untuk menciptakan kondisi yang lebih baik.
Namun apa lacur, di negeri ini hari ini, di zaman besar dan di abad besar ini, ternyata yang lahir hanya para penguasa kerdil beserta para gerombolannya.
[***]