DI ZAMAN penjajahan Belanda warga pribumi, termasuk warga Jakarta (Batavia), ditempatkan dalam golongan warga negara kelas empat, di bawah orang Belanda, orang Indo, orang Cina dan orang-orang Arab serta Timur jauh.Â
Perlakuan diskriminatif sangat dirasakan di semua bidang, sehingga di tempat-tempat umum misalnya banyak terdapat tulisan peringatan ‘’Verboden voor Honden en Inlander, anjing dan pribumi dilarang masuk…’’Â
Warga pribumi jadi minoritas tertindas. Di zaman itu bumiputera direndahkan. Kosakata Belanda punya banyak istilah misalnya untuk menyebut pekerjaan bumiputera secara menghina, mulai dari kacung dan jongos, ada pula sebutan manusje van alles alias orang serabutan, inlandse huishoudster (babu pribumi) yang bekerja mulai dari pembersih kandang anjing, wasbabu (tukang cuci) dan seterusnya.Â
Waktu itu orang Belanda, asing, dan aseng, punya kedudukan primus interpares, dan ada istilah bergengsi di kalangan mereka, slavenkapital, yaitu kekayaan yang dimiliki berdasarkan jumlah budak yang dimiliki. Di luar rumah orang Belanda, orang asing, dan orang aseng, bumiputera umumnya kerja jadi kuli. Kuli pelabuhan, kuli kontrak, kuli stasiun dan kuli-kuli pabrik.Â
Orang Belanda sangat benci bumiputera bekerja jadi wartawan sehingga mereka samakan dengan kuli panggul pelabuhan, dengan menyebutnya kuli tinta.Â
Kalau kita baca sejarah VOC, sejarah kedatangan bangsa-bangsa asing termasuk bangsa aseng, bumiputera sampai hari ini di posisi bawah dalam strata sosial dan ekonomi. ‎Singkatnya kebanyakan di posisi ‎tertindas melulu.Â
Waktu VOC datang di awal 1600-an Nusantara masih berupa kerajaan. Para pendatang VOC selain para pelaut profesional umumnya adalah orang-orang bermasalah. C.R. Boxer di dalam bukunya yang bagus ‘’Jan Kompeni, Sejarah VOC Dalam Perang dan Damai 1602-1799’’, menyebut mereka adalah para residivis, psikopat, penipu, pengidap penyakit kelamin, dan golongan orang ‘’sisa-sisa’’ lainnya yang di Belanda (Eropa) keberadaannya tidak diinginkan.Â
Lihat adanya persamaan kondisi ini dengan sekarang dengan merangseknya warga China masuk ke Indonesia sebagai pekerja asing, yang kebanyakan unskill.
Berebut makan dan berebut lapangan pekerjaan dengan pribumi di sini, karena populasi penduduk RRT kian tidak terbendung, terus bertambah lebih dari satu miliar jiwa, dan secara geopolitik Indonesia yang dulu disebut Negara Bangsa, sekarang katanya jadi Negara Mangsa.
VOC sendiri akhirnya bangkrut akibat gaya hidup mewah para pejabat tinggi dan para karyawan di bawahnya, terutama sekali akibat korupsi, sehingga singkatan VOC jadi olok-olok Vergaan Onder Corruptie alias runtuh lantaran korupsi.Â
Di zaman pergerakan kemerdekaan warga pribumi Jakarta yang hidup tertindas dalam alam diskriminatif punya tokoh humanis pembela kaum minoritas tertindas, Mohammad Husni Thamrin.Â
Thamrin teman dekat Ernest Douwes Dekker (Danudirdjo Setiabudi), keponakan dari Multatuli (Eduard Douwes Dekker) penulis Max Havelaar yang menentang keras kelakuan seorang kepala daerah yang korup dan congkak yaitu Bupati Lebak, Banten (1856).Â
Thamrin sangat memperhatikan nasib kaum Betawi yang sangat tersisih. Sebagai anggota Volksraad yang pemberani dia berbicara tentang kampung-kampung Jakarta yang becek tanpa penerangan, kondisi kesehatan yang buruk, dan persoalan banjir.Â
Dia menggugat daerah elit Menteng yang dalam pembangunannya sangat diprioritaskan dalam segalanya. Dia jadi juru bicara kaum minoritas Betawi misalnya tentang pajak dan sewa tanah bagi petani, sampai soal harga kedelai, gula beras, karet, kapuk, kopra, dan semua komoditi yang dihasilkan oleh rakyat.Â
Thamrin adalah contoh utama pemimpin Jakarta yang kecintaannya dan ketulusannya kepada kaum minoritas tertindas sangat menonjol, atas jasa-jasa pejuang dan pemimpin terhormat ini namanya diabadikan oleh Ali Sadikin jadi nama jalan protokol Jakarta, Jalan Thamrin.Â
Bang Ali meneruskan cita-citanya dengan melaksanakan program MHT (Mohammad Husni Thamrin) yaitu program perbaikan kampung-kampung kumuh tempat tinggal warga miskin Jakarta tanpa penggusuran dan penghinaan.Â
Tokoh pembela minoritas tertindas ini oleh ilmuwan Belanda kelahiran Jatinegara, 1925, Profesor Bob Hering, disebut sebagai tokoh nasionalis revolusioner, Thamrin bersama Sukarno menjadi satu kesatuan dan kesinambungan perjuangan yang mengantar rakyat Indonesia ke kemerdekaan.Â
Thamrin dan Ernest Douwes Dekker (Danudirdjo Setiabudi) adalah mentor Sukarno. Sang gubernur jenderal ketika itu sangat jengkel dengan menyebut Thamrin sebagai orang paling berbahaya dan ingin sekali menjebloskannya ke dalam bui, tapi lantaran demokrasi formal dan status Thamrin sebagai anggota Volksraad serta tokoh terkemuka masyarakat Betawi hal itu tidak mudah untuk dilakukan.Â
Suatu kali Sukarno dan Ernest Douwes Dekker (Danudirdjo Setiabudi) ditangkap setelah rapat di rumah Thamrin. Sukarno dibuang ke Ende, Setiabudi diasingkan ke Suriname. Sedangkan Belanda menghukum Thamrin dengan tahanan rumah.Â
Di masa setelah kemerdekaan negeri ini punya tokoh-tokoh pembela minoritas tertindas. Pembelaan terhadap minoritas tertindas ini bukan terbatas pada konteks etnis belaka, melainkan dalam arti pembela kebenaran yang bersifat universal.Â
Kita pun mengenal tokoh-tokoh empatik yang penuh jasa dan sumbangsih, yang menjaga lisannya, yang memiliki toleransi sosial serta merawat kerukunan antar umat beragama, seperti Yap Thiam Hiem, Karim Oey (Haji Junus Jahja), Siaw Liem Piet sastrawan yang ayah kandung Soe Hok Gie & Soe Hok Djin (Arief Budiman).Â
Tokoh dengan nasionalisme heroik seperti John Lie, maestro badminton Rudy Hartono (Nio Hap Liang atau Hatuonuo), Susi Susanti-Alan Budikusuma (Wang Lian Xiang-Goei Ren Fang), Steve Liem Tjoan Hok (sutradara Teguh Karya), Buby Chen (musisi jazz terkemuka), sejarawan Onghokham, para perintis pers nasional seperti Hauw Tek Kong, Liem Koen Hian, Kwee Thiam Tjing (penulis dengan nama samaran Tjamboek Berdoeri), PK Ojong, ekonom Kwik Kian Gie, seniman-pengusaha Jaya Suprana (Phoa Kok Tjiang), Oei Hong Kian dokter gigi Presiden Sukarno yang menuliskan memoarnya yang sangat menyentuh.
Atau para anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia, yang ikut merumuskan dasar-dasar Indonesia menjadi negara yang merdeka, antara lain Oei Tiang Coel, Oei Cong Han, Ten Eng Hoa, Lim Koen Hian.
Tokoh nasional Dr Rizal Ramli saat khaul Gus Dur mengingatkan kembali nilai-nilai moral dan etika yang dicontohkan Gus Dur. Rizal Ramli menggarisbawahi bahwa yang dibela Gus Dur semasa hayatnya adalah minoritas yang tertindas, bukan minoritas yang menindas.Â
Minoritas yang menindas atau minoritas penindas adalah minoritas yang zolim yang dengan kekuasaan ditangannya menggusur warga lemah Jakarta, menghina seorang ibu dengan memakinya maling, yang berniat melabrak HAM, yang mengucap kata kotor dan mengumpat dengan menyebut nama binatang.
Yang pada dirinya menggantung banyak beban kasus korupsi, yang dari mulutnya muncrat penistaan terhadap agama, yang pintar berpura-pura untuk menutupi berbagai kebohongan dan tabiat yang congkak, arogan, serta angkuh.
Kabut gelap dan awan hitam yang mengandung bencana masih menggantung di atas langit Jakarta. Matahari 2017 yang bakal terbit beberapa hari lagi tampaknya tidak akan secerah dan seterang seperti yang dibayangkan. Warga Jakarta akan menatap cemas situasi ini.
‎
Masih akan datangkah penguasa tiran yang minoritas tetapi menindas itu. Minoritas yang penindas itu.
Oleh Arief Gunawan, Wartawan Senior‎