KedaiPena.Com – Pihak PT Pertamina (Persero) di bawah komando Elia Massa Manik semestinya tidak menjadikan alasan sejumlah penugasan dari pemerintah sebagai biang keladi dari kerugian yang diterima perseroan.
Hal itu ditegaskan oleh Direktur Eksekutif Institute for Essential Service Reform (IESR) Feby Tumiwa di Jakarta, ditulis Jumat (2/12).
“Pertamina merupakan BUMN dan harus siap menerima penugasan dari pemerintah. Sebagai BUMN harus siap,” kata dia kepada.
Menurut Faby, Pertamina sebagai perusahaan kelas dunia seharusnya dapat memperbaiki diri beberapa sektor seperti pelayanan SPBU dan peningkatan kualitas BBM. Hal itu, jauh lebih baik dari pada mengeluh dan menyalahkan sejumlah pihak.
“Seperti kehadiran SPBU Vivo, seharusnya Pertamina nggak perlu takut. SPBU Vivo baru satu, tidak akan memakan pangsa pasar Pertamina. Kalau dilihat dari regulasi, kehadiran SPBU swasta seperti Vivo di bolehkan,” jelas dia.
Ketika ditanya apakah pemerintah perlu mendesak Pertamina melakukan audit investigasi perlihal kehilangan kehilangan pendapatan perseroan hingga Rp 19 triliun selama periode Januari-September 2017, Faby mengatakan perlu.
“Sebab transparansi pada sektor- sektor tertentu perlu dilakukan. Paling penting adalah transparansi biaya pengadaan BBM,” ujar dia.
Penjelasan Faby, semestinya seluruh biaya itu bisa di hitung. Sama dengan listrik, biaya penyediaan listrik berbeda di seluruh Indonesia tapi ada tarif yang seragam (uniform).
Senada dengan Faby, Direktur Eksekutif Reforminer Institute Komaidi Notonegoro pun mendukung Pertamina perlu melakukan audit investigasi terkait hilangnya pendapatan perseroan hingga Rp 19 triliun.
Seperti diberitakan sebelumnya, manajemen Pertamina mengaku hilangan pendapatan perseroan hingga Rp 19 triliun selama periode Januari-September 2017.
Sejumlah pihak menganggap manajeman Pertamina yang dipimpin Massa Manik dianggap telah menyalahkan langkah yang dilakukan Presiden Joko Widodo (Widodo) dan Menteri ESDM Ignasius Jonan, terkait kerugian yang dialami perseroan.
Klaim pihak Pertamina, penugasan pendistribusian ahan makar minyak (BBM) PSO atau public service obligation dari pemerintah punya andil memengaruhi kinerja perseroan.
Massa Manik pernah berkomentar, seharusnya Pertamina bisa mendapatkan laba sebesar USD 38 miliar. Namun, lanjut dia, tidak adanya penyesuaian harga minyak menjadi faktor penyebabnya.
“Sesuai formula, mustinya pendaparan kami ada di USD 38 miliar, tapi karena tidak disesuaikan jadi hanya USD 31,38 miliar,” ucap dia, pekan lalu (Kamis, 2/11).
Seperti diketahui, pemerintah memang mengambil keputusan untuk tidak menaikkan harga BBM hingga akhir tahun.
“Jadi ini hampir USD 1,5 miliar (potensi pendapatan yang hilang) atau sekitar Rp 19 triliun. Jadi kami kekurangan pendaparan karena harga tidak disesuaikan,” kata Massa.
Laporan: Muhammad Hafidh