SAAT ini, saat masa tenang menjelang pilkada serentak 15 Februari, tidak sedikit jurnalis yang bertanya kepada saya dengan pertanyaan yang tidak mudah untuk dijawab. “Siapa yang akan menjadi pemenang pada Pilkada DKI 2017 nanti?” .
Pertanyaan siapa pemenang itu bagi akademisi seperti saya dan mungkin juga yang lain sulit untuk memberikan jawaban karena dua hal. Pertama, memastikan jawaban atas pertanyaan tersebut sama saja itu mendahului kehendak Tuhan. Kedua, dinamika politik Jakarta sangat kompleks sehingga membutuhkan detail analisis sekaligus pertaruhan independensi sebagai akademisi. Meskipun argumentasi yang dibangun sangat ilmiah tetapi jika menyebutkan nama pemenangnya sebelum pemilu maka dengan segera pendukung yang kalah menilainya sebagai akademisi partisan.
Bahkan lembaga survei yang konon sangat profesional pun tidak bisa lepas dari label lembaga partisan. Apalagi misalnya akhir-akhir ini terlihat hasil surveinya menyebutkan semua cagub menang. Angka tertinggi elektabilitas cagub-cawagub dalam periode survei yang hampir sama, metode yang sama, jumlah responden yang sama hasilnya pemenangnya berbeda-beda. Lembaga A menyebut elektabililitas tertinggi Agus-Sylvi, lembaga B menyebut Ahok-Djarot, dan lembaga C menyebut Anies-Sandi. Dengan hasil survei seperti itu maka tidak heran kemudian publik menilai bahwa lembaga survei sulit dipercaya untuk independen.
Memang lebih mudah menjawab pertanyaan pertanyaan rumit teoritik, analitik dan metodologis dibanding pertanyaan-pertanyaan prediktif dari sebuah kontestasi politik. Lebih mudah menjelaskan pertanyaan mengapa si A menang dibanding pertanyaan siapa yang bakal jadi pemenang. Dunia akademik adalah dunia ilmiah yang sarat kaedah ilmiah dan tanggungjawab moral. Itulah sebabnya akademisi sesungguhnya sangat sulit untuk menjadi partisan.
Bagi akademisi yang masih memegang teguh kaidah-kaidah ilmiah ia tidak akan mau menggadaikan integritasnya menjadi ‘intelektual tukang’ demi rupiah atau dolar. Menjadi ‘intelektual tukang’ adalah pilihan rasional (rational choice) bagi siapapun akademisi yang mau. Berani mengubah data survei demi pencitraan politik calon gubernur adalah ciri ‘intelektual tukang’. Lain halnya jika memilih misalnya menjadi konsultan politik profesional yang bekerja dibelakang panggung dan tidak melibatkan diri dalam panggung opini publik selain tugas profesionalnya sebagai konsultan dibelakang layar. Mungkin itu pilihan rasional (rational choice) yang lebih terhormat.
Bias analisis seringkali terjadi ketika konsultan politik cagub-cawagub merangkap sebagai pengamat yang analisisnya dikonsumsi publik disiarkan dan disebarkan oleh media yang juga pendukung cagub-cawagub tersebut. Rakyat pemilih menjadi obyek konstruksi informasi yang tidak obyektif.
Lalu, bagaimana menjawab pertanyaan prediktif diatas dengan tetap memegang teguh kaidah ilmiah dan moralitas sebagai akademisi? Selain dengan cara riset kuantitatif (survei) yang benar, cara yang mungkin adalah membaca kemungkinan kemenangan secara lebih komprehensif dan mendalam dari masing-masing calon gubernur dan wakil gubernur kemudian menganalisis kecenderungan pemilih. Cara ini sering disebut pendekatan kualitatif.
Tetapi untuk mengurai perspektif komprehensif tersebut membutuhkan analisis dan narasi yang panjang, oleh karenanya dalam kesempatan ini penulis coba padatkan dengan tiga perspektif saja, yaitu (1) perspektif sosioligis politik, (2) perspektif data pemilu sebelumnya dan (3) perspektif kecenderungan pemilih terkait ekpektasinya tentang gubernur DKI untuk periode 2017-2022. Tiga indikator tersebut penulis jadikan sebagai alat analisis untuk menjawab pertanyaan “siapa yang bakal menjadi pemenang pada pilkada DKI 2017 ?”
Agus-Sylvi Menang?
Pasangan Agus-Sylvi memiliki sejumlah prasarat untuk memenangkan pertarungan 15 Februari mendatang. Putra SBY yang dikenal cerdas, memiliki kapasitas leadership yang mumpuni dan masih muda ini secara sosiologis politik adalah anak muda yang energik yang memiliki latar sosiologis etnis Jawa yang cukup kuat dan darah biru politik yang signifikan dari sang ayah dan kakeknya. Etnis Jawa di Jakarta adalah etnis terbesar yang secara sosiologis memiliki karakteristik budayanya sendiri.
Dalam Indonesia’s Population: Ethnicity and Religion in a Changing Political Landscape. Institute of Southeast Asian Studies(2003) dan survei BPS (2010) menyebutkan bahwa etnis terbesar di DKI Jakarta adalah memang etnis Jawa. Dalam data tersebut disebutkan bahwa etnis Jawa angkanya mencapai 35,16% disusul Suku Betawi (27,65%), Suku Sunda (15,27%), Suku Tionghoa (5,53%), Suku Batak (3,61%), Suku Minang (3,18%), Suku Melayu (1,62%), dan Suku Lain-lain (7,98%). Sementara Sylviana Murni secara sosiologis berasal dari etnis terbesar kedua, etnis Betawi (27,65%). Agus yang beretnis Jawa dan Sylvi yang beretnis Betawi adalah pasangan yang dari segi etnis paling berpeluang menjadi pemenang.
Meskipun latar belakang etnis tidak lagi menjadi alasan utama warga Jakarta dalam memilih gubernur tetapi fakta bahwa pasangan Agus-Sylvi berasal dari etnis yang dominan di Jakarta telah menjadi modal sosial yang cukup signifikan untuk memenangkan kontestasi. Data kami menyebutkan 58% pemilih di Jakarta memilih bukan karena etnis, selebihnya 42 % karena faktor lain termasuk faktor etnis.
Dari segi indikator data pemilu sebelumnya yaitu pilkada 2012, partai partai pendukung Agus-Sylvi mayoritas adalah partai-partai pendukung Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli pada 2012. Perolehan suara Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli pada putaran pertama saat itu mencapai 1,4 juta suara. Jika diasumsikan pemilih mereka loyal maka perolehan suara Agus-Sulvi tidak akan jauh berbeda antara 1,2 juta sampai 1,5 juta suara. Perolehan suara partai-partai pendukung Agus-Sylvi pada pemilu legislatif 2014 jika di total juga jumlah suaranya pada kisaran yang sama. Dari indikator data pemilu sebelumnya tersebut pasangan Agus-Sylvi berpeluang cukup besar lolos melaju ke putaran kedua.
Dari indikator kecenderungan pemilih Agus-Sylvi memiliki segmentasi yang unik. Segmentasi pemilih Agus selain simpatisan atau kader partai pendukung adalah juga mereka para pemilih pemula (10%) dan atau para pemuda yang jumlahnya mencapai 30% dari total DPT (Daftar Pemilih Tetap). Artinya pemilih pemula dan pemuda jumlahnya sangat signifikan dan berpotensi kuat memberikan dukungan ke Agus-Sylvi, meski dukungan mereka berpeluang terbagi ke Ahok-Jarot dan Anies-Sandi. Pemilih muslim kultural kemungkinan menjatuhkan pilihanya pada pasangan ini.
Ahok-Jarot Menang?
Bagaimana dengan Ahok-Jarot? Pasangan ini secara sosiologis cukup signifikan mendapatkan limpahan dukungan yang terbagi dari etnis Jawa (35,16%) dan etnis Cina (5,53%). Meskipun etnis Cina ini minoritas tetapi mereka memberikan dukungan kepada pasangan Ahok-Jarot mendekati angka 90%, termasuk dukungan finansial. Secara politik pasangan ini adalah pasangan yang mendapatkan insentif paling melimpah dari posisinya sebagai petahana. Maka tidak heran pasangan ini dengan mudah mendapatkan dukungan publik karena bukti kerja sebagai petahana secara optimal digunakan sebagai modal kampanye.
Dari segi indikator pemilu sebelumnya baik pilkada 2012 (pasangan Jokowi-Ahok pada putaran pertama memperoleh suara sekitar 1,8 juta) maupun pemilu legislatif 2014 (total suara partai pendukung Ahok-Jarot mencapai sekitar 2,3 juta suara), maka kemungkinan perolehan suara Ahok-Jarot pada pilkada 15 februari mendatang berada pada kisaran 1,5 juta sampai 2 juta suara. Angka tersebut dimungkinkan terjadi karena faktor Gerindra yang dulu pada 2012 bersama PDIP mendukung Jokowi-Ahok kini mengusung Cagub-Cawagubnya sendiri bersama PKS. Dari indikator kedua ini pasangan Ahok-Jarot memiliki peluang besar untuk melaju ke putaran kedua.
Dilihat dari indikator kecenderungan pemilih, pasangan Ahok-Jarot sekitar 10% sampai 15% pemilihnya cenderung migrasi atau berpindah pilihan. Faktornya ada pada dua hal. Pertama, fakta kader PDIP DKI Jakarta yang kurang solid memilih Ahok-Jarot. Ini bisa dicermati saat sebelum pencalonan Ahok oleh PDIP dimana mayoritas pengurus dan kader PDIP DKI menolak Ahok dan fakta keluarnya Boy Sadikin (mantan Ketua DPD PDIP DKI Jakarta) dari PDIP dan bergabung menjadi tim suksesnya Anies Sandi.
Kedua, fakta bahwa beberapa kali Ahok melakukan kesalahan komunikasi publik (kasus almaidah dan kasus dengan K.H.Ma’ruf Amin dipengadilan) sehingga mengurangi simpati pemilih partai pendukungnya yang muslim. Dengan mencermati indikator kecenderungan pemilih ini maka suara pemilih Ahok-Jarot makin berkurang hingga dapat diprediksi perolehan suaranya tidak jauh berbeda dengan saat pilkada 2012 Jokowi-Ahok yang mencapai kurang lebih 1,8 juta suara. Dengan angka ini pasangan Ahok-Jarot kemungkinan akan melenggang ke putaran kedua.
Anies-Sandi Menang?
Bagaimana dengan Anies -Sandi ? Pasangan ini secara sosiologis cukup kuat juga terutama limpahan dukungan dari etnis Jawa, Betawi, Arab dan perantauan dari kepulauan Sulawesi. Anies yang beretnis Arab besar di Jawa dan Sandi beretnis campuran Jawa Gorontalo dan beristri etnis betawi merupakan modal sosial yang kaya jika semasa kampanye lalu terkonsolidasi dengan baik.
Dari sisi indikator hasil pemilu sebelumnya baik pilgub DKI 2012 (Gerindra bersama PDIP pendukung Jokowi-Ahok yang memperoleh suara 1,8 juta) maupun pemilu legislatif 2014 (Gerindra memperoleh suara sekitar 600 ribuan dan PKS sekitar 500 ribuan) pasangan ini dengan kerja mesin politik yang dinilai banyak kalangan sangat baik dapat diprediksi perolehan suaranya kurang lebih sama dengan pasangan Agus-Sylvi sekitar 1,4 juta suara. Perolehan suara tersebut bisa bertambah jika asumsi debat cagub-cawagub yang menilai pasangan Anies-Sandi dapat mengambil keuntungan dari dilema Ahok versus Agus sehingga ada migrasi pemilih dari pemilih Ahok-Jarot maupun Agus-Sylvi ke Anies-Sandi.
Dari segi indikator kecenderungan pemilih, pasangan Anies-Sandi dipilih oleh pemilih setia PKS dan Gerindra, dan cenderung dipilih oleh pemilih pemula, kaum muda kelas menengah baru, umat Islam perkotaan, sebagian dari warga nahdhiyin dan Muhammadiyah. Data kami menemukan bahwa warga Jakarta sebesar 60% mempertimbangkan unsur agama dalam memilih pemimpin.
Analisis dihari tenang dengan tiga indikator diatas sesungguhnya menggambarkan ketatnya persaingan diantara tiga pasang cagub-cawagub DKI Jakarta. Penentunya ternyata ada pada kecenderungan pemilih, baik ‘swing voters’ (pemilih yang mungkin berubah pilihan) dan ‘undecided voters’ (pemilih yang belum menentukan pilihan) yang besaranya sekitar 15 sampai 25 %, termasuk didalamnya pemilih pemula.
Mereka mudah migrasi dan belum menentukan pilihan. Apakah mereka yang mudah migrasi dan belum menentukan pilihan ini akan menjatuhkan pilihan pada Agus, Ahok atau Anies? Nampaknya itu ditentukan oleh mesin politik mana dari pasangan cagub-cawagub yang paling bekerja keras mempengaruhi pemilih dengan kategori ‘swing voters’ dan ‘undecided voters’ saat kampanye lalu. Itulah sebabnya ketiga pasangan calon dan tim nya dihari tenang ini ternyata masih belum tenang. Mungkin sebagian tidak bisa tidur.
Semoga pada 15 Februari mendatang pemenangnya adalah warga Jakarta, pasangan yang terbaik dan bekerja untuk warga Jakarta, bukan untuk pemodal.
Oleh Ubedilah Badrun, analis sosial politik UNJ dan Direktur Puspol Indonesia