KedaiPena.com – Dalam RDP Komisi XI DPR RI, Anggota Komisi XI DPR RI, Fraksi Partai Golkar, Misbakhun mempertanyakan hasil dari Reformasi Birokrasi yang selama ini digaungkan. Karena dalam kasus Kementerian Keuangan, sistem yang ada tak menunjukkan hasil yang memuaskan. Malah terkesan, setiap kasus yang terbuka bukan lah hasil dari ‘deteksi dini’ internal Kementerian Keuangan.
Ia juga menyampaikan apreasiasinya pada paparan Menteri Keuangan Sri Mulyani, yang telah mendudukan permasalahan pada proporsinya, tapi sayangnya bahan paparan itu selalu saja sampai terlambat ke Komisi XI. Yang seharusnya menurut MKD 3, bahan paparan sudah sampai ke Komisi sehari sebelum penyelenggaraan Rapat.
“Dan ini harusnya menjadi bahan introspeksi bagi kita semua bahwa basis kinerja itu harus tetap menjadi ukuran. Seberapa tinggi pencitraan yang diangkat tapi tetap harus berbasis pada kinerja,” kata Misbakhun dalam RDP Komisi XI dengan Kementerian Keuangan, Senin (27/3/2023).
Ia sangat menyayangkan bagaimana suatu sistem self-asessment yang diterapkan tidak bisa menjadi suatu deteksi dini atas permasalahan yang ada.
“Sebagai contoh, kasus Gayus diungkap bukan oleh internal. Tapi oleh sosok Susno Duaji, yang sedang bertarung di internal polisi. Lalu, kasus Angin Prayitno, dibuka oleh dukun. Karena Angin mengalihkan hartanya ke orang lain, kemudian ia memakai jampi-jampi, menebarkan garam di rumah orang yang menjadi proxy-nya, agar berbalik kepada Angin supaya harta Angin tidak hilang,” ucapnya.
Lalu, dalam kasus RAT, terbuka karena media sosial terkait kasus penganiayaan anaknya. Ada juga kasus ekspor impor kepabeanan tekstil, yang diungkap oleh Kejaksaan Agung. Ada pesta narkoba di Kepulauan Seribu oleh pegawai Kementerian Keuangan, diungkap oleh Polisi.
“Sebegitu panjang paparan Sri Mulyani, tak terlihat, bagaimana secara sistem bisa menjelaskan kesalahan RAT dalam kasus ini. Menkeu yang pulang dari Bangalore, malah terkaget-kaget dengan masalah ini. Tapi bisa dengan cepat memutuskan kasus RAT sebagai kasus internal, padahal sebelumnya RAT -dalam nota dinas Kemenkeu- masuk sebagai talent yang akan dipromosikan ke Eselon 2. Siapa yang memutuskan atau merekomendasikan kalau Menkeu harus ‘menonjok’ dia?” tanya Misbakhun.
Politisi Golkar ini juga mempertanyakan Kemenkeu memiliki mitra PPATK, SPT, dan LHKPN yang memiliki hak berdasarkan undang-undang, sebagai tolak ukur dalam pengambilan keputusan.
“Dengan kekuasaan melalui 30 undang-undang tersebut, lalu apa yang kurang, sehingga Kemenkeu tidak dapat mendeteksi dini permasalahan seperti ini. Misalnya, apakah Menkeu pernah melakukan profiling atas rekening gendut yang ada di Dirjen Pajak dalam periode 2003 hingga 2011? Dan risiko atas yang memiliki profile yang dimiliki?” tanyanya lagi.
Ia juga mengingatkan kepada Mennkeu Sri Mulyani, pernah bertanya tentang kasus Angin Prayitno, kasus tekstil dan kasus BLBI.
“Tapi tak pernah dijawab. Padahal, semua itu berkaitan dengan kinerja kelembagaan Kementerian Keuangan yang dipimpin oleh Menkeu Sri Mulyani,” kata Misbakhun tegas.
Dalam kasus BLBI, lanjutnya, ada berapa banyak aset yang sudah disita dan tidak didayagunakan. Padahal asetnya sangat besar.
“Kalau memang Reformasi itu dijalankan dengan ideal, ada tolak ukurnya, yaitu tax ratio. Terlihat disitu, tax ratio tidak mencerminkan tax beyond see, dimana seharusnya pararel dengan pertumbuhan PDB,” ujarnya.
Ia menyebutkan pada tahun 2005, tax ratio Indonesia ada di angka 12,7. Tapi semakin lama semakin menurun, padahal volume PDB mengalami kenaikan.
“Kalau kita andaikan pertumbuhan tax ratio pada angka 0,2 atau 0,3 per tahun, maka pada tahun 2022, kita punya tax ratio sekitar 500 persen. Kalau kita punya PDB Rp20 ribu triliun, kita punya penerimaan Rp3 ribu triliun. Ditambah PNBP, bisa Rp4 ribu triliun. Surplus APBN kita,” tandasnya.
Laporan: Tim Kedai Pena