KedaiPena.com – Rencana kenaikan pajak yang dicanangkan pemerintah, dinilai akan membebani masyarakat sebagai konsumen produk jasa maupun produk industri. Pada ujungnya menyebabkan lemahnya daya beli masyarakat. Dan ini tentu akan mempengaruhi roda perekonomian nasional.
Anggota Dewan Pakar DPP Gerindra, Bambang Haryo Soekartono (BHS), menilai rencana kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPn) menjadi 12 persen mulai 1 Januari 2026, tentu akan memberatkan masyarakat konsumen dan produsen baik jasa maupun industri.
“Yang perlu diingat oleh pemerintah adalah setiap kenaikan pajak yang dibebankan pada dunia usaha tentu akan berpengaruh terhadap masyarakat yang dibebani sebagai pembeli produk jasa maupun barang,” kata BHS, Rabu (17/7/2024).
Sebagai contoh, jika PPn naik 1 persen dikenakan pada bahan baku kue, seperti terigu dan gula, maka kue yang dihasilkan akan meningkat harganya bisa lebih dari 1 persen.
“Nah bila masyarakat merasa terbebani dengan harga kue yang lebih mahal tersebut, mereka akan menunda atau membatalkan niat mereka untuk membeli kue itu. Karena pasti mereka akan mengalokasikan akolokasikan uangnya untuk yang prioritas,” urainya.
Dan dengan naiknya harga barang dan jasa, penghasilan masyarakat akan semakin tidak mencukupi untuk kebutuhan dasar masyarakat.
“Jangankan mereka mau belanja yang sifatnya konsumtif, untuk yang pokok saja, misalnya sandang, pangan dan papan masyarakat masih kekurangan. Jadi kalau mau ditambah lagi dengan beban tambahan pajak, terus masyarakat mau beli pakai apa? Pasti mereka tidak sanggup untuk membeli sesuai dengan keinginannya.” kata BHS tegas.
Ia menilai dari beragam jenis pajak yang diterapkan oleh pemerintah kepada pengusaha jasa dan industri barang saat ini yang dibebankan kepada konsumen sudah terlalu banyak. Misalnya PPN, PPH Pribadi, Pajak Perizinan, Pajak Daerah, Pajak Lingkungan, Pajak Karyawan , PNBP, dan Pajak lainnya sudah sangat menjadi beban yang cukup berat bagi masyarakat Indonesia kesehariannya.
“Dengan banyaknya pajak yang diberlakukan, seharusnya masyarakat bisa mendapatkan fasilitas pendidikan gratis, kesehatan gratis, ketersediaan perumahan murah, hingga ketersediaan infrastruktur yang betul betul bermanfaat dan murah. Transport, jalan raya, listrik, gas, air, dll,” ucapnya.
BHS menyatakan dalam kondisi seperti saat ini, seharusnya pemerintah bisa mempertimbangkan untuk mengurangi atau menurunkan pajak untuk meningkatkan daya beli masyarakat.
“Bila daya beli masyarakat menurun, pasti kebutuhan konsumtif-nya juga menurun. Itu yang terjadi saat ini. Ujung-ujungnya, Menteri Keuangan akan bilang pajak-nya “seret”. Seharusnya itu bukan berarti menambah besaran pajak yang dibebankan oleh Pemerintah terhadap konsumen masyarakat, tetapi malah diturunkan atau direduksi pajak-pajak yang ada, sehingga daya beli masyarakat terhadap barang dan jasa di Indonesia balik kuat kembali,” ucapnya lagi.
Selain itu, Politisi Gerindra ini menekankan seharusnya Pemerintah melalui Kementrian Keuangan harus lebih teliti lagi dalam pengawasan pemeriksaan kepada wajib pajak. Untuk dipastikan tidak ada permainan antara wajib pajak dengan petugas pajak, sehingga besaran pajak pajak yang ditarik betul-betul sesuai dengan jumlah besaran pajak yang seharusnya diterima oleh negara.
“Saya yakin pada saat pemerintahan Pak Prabowo nanti, akan mampu membenahi penerimaan pajak secara maksimal tanpa harus menambah beban besaran pajak pada masyarakat. Apalagi pajak ditangani oleh lembaga tersendiri yang langsung di bawah Presiden. Diharapkan Petugas Pajak di Kementrian Keuangan yang sudah mendapatkan pendapatan gaji yang terbesar dan jauh dibanding ASN lainnya, bisa bekerja maksimal untuk Kepentingan Negara,” pungkasnya.
Laporan: Ranny Supusepa