Artikel ini ditulis oleh Arief Gunawan, Pemerhati Sejarah.
Suatu hari di tahun ’40-an, para kiai NU berkumpul di Surabaya melakukan semacam forecasting terhadap gejolak zaman yang waktu itu sedang dilanda perang dunia.
Jepang merajai Asia Timur Raya dan tak lama lagi menduduki Indonesia.
Dalam forecasting itu terbetik satu pembicaraan penting, yakni siapa figur yang pantas didukung untuk menjadi pimpinan nasional, apabila gejolak perang berimplikasi terhadap kedudukan Indonesia yang ingin menjadi negeri merdeka.
Para kiai terpandang itu kemudian melakukan semacam “konvensi”, yang dipimpin Kiai Mahfudz Shiddiq, seorang alumni Mekkah terkemuka, ahli debat dan jago pidato yang pernah menjadi Ketua Nahdlatul Oelama, dan pernah ditawan Belanda bersama kakeknya Gus Dur, KH Hasyim Asy’ari.
Para kiai terhormat tersebut memilih nama-nama calon pemimpin nasional yang berasal dari kalangan pergerakan.
Dari sebelas kiai dalam “konvensi” itu, 10 orang memilih Sukarno dan 1 memilih Hatta.
Waktu itu Sukarno masih dalam pembuangan di Bengkulu. Sedang Hatta tak kalah perannya dalam dinamika pergulatan politik dan intelektual menuju kemerdekaan republik.
Kenapa Sukarno yang sekuler yang terpilih?
Antara lain karena para kiai terpukau oleh Sukarno yang dapat menemukan titik temu antara Nasionalisme dan Islam, yang menunjukkan adanya kesamaan pola pikir NU yang mempunyai metodelogi yang nyaris sama ialah pluralisme.
Sukarno tanpa NO (Nahdlatul Oelama) akan sulit menjalankan program politiknya.
Bung Karno tanpa NO (Nahdlatul Oelama) mudah sekali goyah dan jatuh, karena kaum nasionalis dan NU ialah tiang-tiang penyangga yang menguatkan.
Demikianlah Nahdlatul Ulama saat itu menjalankan salah satu contoh praktek Politik Tingkat Tinggi, ialah berpolitik pada level kebangsaan sebagaimana yang dimaksud oleh KH Agus Solachul Aam Wahib Wahab yang merupakan cucu KH Abdul Wahab Chasbullah, salah satu pendiri NU.
KH Wahib Wahab yang belum lama ini bersilaturrahim dengan tokoh nasional Dr Rizal Ramli, dalam keterangan tertulisnya lebih jauh mengatakan bahwa politik bagi warga NU ibarat air dan teh. Keduanya mustahil dipisahkan.
“Pengurus NU, orang-orang NU, anak anak muda NU harus mengerti dan menyadari bahwa NU memiliki tanggung jawab sangat bermakna dan sangat mulia. Tujuan politik warga NU dalam bernegara, yang kini sering hilang dan dilupakan, adalah tanggung jawab NU untuk pemenuhan kemaslahatan bangsa pemenuhan kesejahteraan dan kebutuhan rakyat. Jaminan keamanan dan kedamain rakyat, secara fisik, batin, individual dan kolektif,” ujarnya.
Gus Aam, demikian panggilan akrab KH Wahib Wahab, menekankan pemerintah memiliki tanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan rakyat dan meningkatkan kesejahteraan rakyat. Selain itu, bertugas menjamin keamanan dan kedamaian rakyat serta membentengi rakyat dan bangsa, dalam wadah NKRI, dari gangguan yang berasal dari dalam maupun luar.
“Inilah ide negara yang diperjuangkan para pendiri NU melalui ‘Resolusi Jihad 1945’ yakni negara sebagai sarana untuk melengkapi dan mewujudkan kemaslahatan umat manusia,” tegasnya.
Di kalangan Kiai, katanya, dikenal pernyataan: Tasharruful Iman Ala Rraiyyahmanu Thun Bil Maslahah (Kebijakan Seorang Penguasa Kepada Rakyatnya Ditujukan Untuk Memenuhi Kemaslahatan Dan Kesejahteraan Masyarakat).
Ada tiga tujuan penting dari strategi bernegara yang menjiwai hakekat pemerintah yang dibela dan diperjuangkan oleh orang-orang NU.
Pertama, siapapun yang berkuasa harus senantiasa melindungi sumber kehidupan yang paling azasi. Kedua, menjaga negeri yang tercinta ini dari berbagai macam gangguan dari dalam maupun luar. Ketiga, kewajiban memelihara dan melindungi tradisi beragama dan kebudayaan bangsa kita.
“Inilah juga yang dimaksud dengan NU berpolitik pada level kebangsaan Politik Tingkat Tinggi,” tegasnya.
[***]