Artikel ini ditulis oleh M.Idris Hady, Sekjen Aliansi Damai Anti Penistaan Islam (ADA API)
Dalam pelajaran aljabar, berhitung atau matematika, seorang guru atau pembimbing, akan menyampaikan pesan awal, tentang hitungan perkalian, sebagai berikut:
1.+×+=+(plus kali plus akan menghasilkan nilai plus).
2.+×-=- (plus kali minus akan menghasilkan nilai minus).
3.-x+=- (minus kali plus akan menghasilkan nilai minus).
4.-×-=+ (minus kali munus akan menghasilkan nilai plus).
Gambaran perhitungan perkalian seperti di atas, seharusnya bisa dijadikan ukuran dalam pertarungan politik di negara kita.
Selama ini, terlihat hitungan yang dijadikan kalkulasi politik hanya Bajuku (Bagi, Jumlah, Kurang) dan tidak hitungan Pangkal Bajuku (Pangkat, Kali, Bagi, Jumlah, Kurang).
Entah “maunya apa” dan “metode apa”, yang dijadikan pilihan oleh para politisi made in parpol selama ini, sehingga pemisahan kekuasaan menurut ajaran trias politika yakni legislatif, eksekutif, yudikatif yang dianut oleh Negara Indonesia, tidak berfungsi maksimal sebagaimana mestinya.
Kenyataan panggung politik sekarang ini lebih menggila dan kejam. Mereka, para politisi “made in parpol” akan dan selalu memanfaatkan, dengan hitungan Bajuku.
Tidak terlalu salah, apabila beberapa pengamat mengatakan atau menyuarakan politik nasional memaksimalkan kondisi untuk saling menjerat.
Khususnya bagi pihak yang sedang manggung, akan begitu mudah menyodorkan konsep pilihan untuk memutuskan atau menentukan atau atau menyeleksi kepada pihak yang dianggapnya lawan politik.
Sehingga konsep atau metoda pilihan akan dijadikan alternatif sebagai dasar kebijakan para politisi “made in parpol“.
Oleh karenanya, metoda pilihan akan menimbulkan korban, saat manusia-dalam hal ini para politisi “made in parpol” untuk memilih opsi yang lain.
Koalisi partai yang diprakarsai oleh kelompok yang sedang manggung, pastinya menggunakan metode pilihan sebagai senjata pamungkas.
Gambarannya adalah sebagai berikut, mau mengikuti irama atau sebaliknya?
Kalau mau mengikuti irama, maka seluruh kasus hukum akan dipetieskan atau didiamkan sampai kelompok pemrakarsa selesai manggung.
Namun sebaliknya, ketika pihak yang dianggap berseberangan tidak seirama, kasus hukum sekecil apapun, akan dibongkar, yang akan berujung menginap di hotel prodeo.
Padahal, para pihak yang dianggap berseberangan, mengetahui dan memiliki data atau dokumen, kalau para politisi “made in parpol” yang sedang manggung tersebut, juga bermasalah dalam hukum.
Kalau saja ada keberanian menggunakaan pilihan “perkalian poin ke 4, yaitu -×-=+, Negara ini akan dikendalikan atau dikelola oleh para penyelenggara yang baik dan tidak akan merugikan bangsa ini, karena rakyat merasa ada perwakilan yang sebenarnya.
Tidak terkecuali dalam memutuskan hak angket yang sekarang sedang digodok oleh para anggota legislatif di ruangan yang ber-AC dengan menu makanan dan minuman yang serba nikmat.
Kalau para penentu politik “made in parpol” masih terperangkap dengan metode pilihan, ya sudah, harapan dan keinginan masyarakat banyak, akan gigit jari.
Kecuali para penentu politik “made in parpol” dengan siap tampil gagah berani demi dan siap membela rakyat dan mempertahankan kedaulatan Republik Indonesia, tentu akan bersikap untuk memilih perhitungan minus kali minus hasilnya plus, karena siap membongkar semuanya.
Wallohu’alam Bisshowab.
[***]