Pidato yang berisi ujaran kebencian, provokasi, intoleran, dan cenderung memecah-belah anak bangsa itu, ternyata terus dipertahankan oleh VBL dan Partai NasDem sebagai sesuatu yang benar. Menyesal kemudian dan minta maaf atas ucapan “fatal dan salah”, tidak berlaku dan tidak ada dalam kamusnya. Sehingga, kesan “saya benar dan kamu salah” sudah menjadi rumus pokoknya.
Tanggapan masyarakat yang bertubi-tubi terhadap pidato VBL dan pembenaran oleh Partai NasDem, terus bergulir secara masif. Meski alasan terus disebar dengan media mainstream miliknya, agar rakyat percaya, terdiam dan tak kritis, tapi era globalisasi tak mungkin dapat membendung, mengatur, dan mengendalikan seluruh arus informasi, apalagi yang asli berisi kebenaran sejati.
Kini rakyat sudah cerdas bisa memilih media yang benar-benar obyektif menjunjung fakta kebenaran, bukan media tipu-tipu dan pesanan yang selalu mempertontonkan kepalsuan dan opini tunggal versi pemilik modal yang jauh dari realita.
Belakangan, kegaduhan semakin kencang, karena VBL dan kelompoknya sampai saat ini tidak menyesal dan tidak merasa bersalah atas pidato tersebut. Padahal, menurut kacamata awam, pasti terlihat jelas ada pelanggaran hukum dan etika bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Bila diperhatikan dengan cermat dan pikiran jernih, pidato itu tak disangkal bernuansa rasis, fasis, dan anti-Islam. Misal, hujatan ajaran Islam tentang khilafah yang dikategorikan sebagai ajaran ekstrem dan radikal yang akan membubarkan NKRI, kemudian akan menutup semua gereja serta tidak boleh ada perbedaan, memaksa rakyat apapun agamanya untuk melaksanakan salat. Betul-betul tak masuk akal dan fitnah luar biasa.
Padahal, bila kita bijak melihat sejarah peradaban manusia, ajaran khilafah Islamiyah lahir dari ajaran Islam yang justru melindungi semua manusia, tanpa melihat suku, budaya, dan agamanya. Semua dilindungi tanpa melihat SARA.
Kehebohan pun terus berlanjut, karena pidato itu dilontarkan oleh seorang yang selama ini dipersonifikasikan sebagai sosok wakil rakyat yang berwawasan kebangsaan, Pancasilais, pembela NKRI, pro Kebhinekaan, toleran, dan menjunjung tinggi nilai-nilai HAM.
Ternyata, jualan pencitraan yang selama ini disuguhkan kepada masyarakat, sungguh bertolak belakang dengan watak aslinya yang bigot dan provokatif. VBL yang saat ini menjabat Ketua Fraksi NasDem DPR, ternyata telah melukai umat Islam dan benar-benar telah menipu rakyat pemilihnya, di mana tampil cuma pencitraan untuk mempertahankan jabatan dan kekuasaan, tanpa menghormati nilai-nilai kebhibnekaan, toleransi, Pancasila, dan NKRI yang sebenarnya.
Di sisi lain, jika kita mau sadar dan bijak menelaah secara seksama yang disampaikan VBL, maka dugaan praktik politik kotor terlihat, di mana yang bersangkutan mengajak masyarakat untuk tidak memilih Partai Gerindra, Demokrat, PKS, dan PAN, karena berada di belakang umat Islam yang mengamalkan ajaran Islam terkait khilafah.
Bahkan yang paling menakutkan, adalah secara provokatif penuh kebencian dan permusuhan mengajak masyarakat, agar memusuhi bahkan membunuh umat Islam yang mengamalkan ajaran Islam terkait khilafah. Sungguh menakutkan, seorang Ketua Fraksi di DPR yang punya pengaruh di masyarakat menyatakan kebencian secara terbuka di hadapan kader-kadernya.
Langkah ini tentu lebih elegan sesuai pesan bos Partai NasDem, Surya Paloh, yang sering melontarkan Indonesia sebagai negara hukum, harus percayakan pada proses hukum dan jangan biarkan politisasi mengalahkan proses hukum, karena akan merusak tatanan hukum dan demokrasi yang sudah on the track.
Bila VBL dan kelompoknya bijak dan fair, harus mengakui, bahwa kasus ini adalah kasus sensitif yang bisa menimbulkan gejolak besar dan luar biasa di masyarakat, sehingga tak boleh didiamkan begitu saja, tanpa harus ada proses hukum.
Kondisi ini ibarat api dalam sekam, yang siap membakar apapun yang ada di atasnya, bila proses hukum tidak berjalan semestinya. Ini adalah masalah substansi hukum yang harus segera diproses demi kedamaian dan kerukunan sesama rakyat Indonesia.
Indonesia sebagai negara hukum yang salah satu cirinya menerapkan equality before the law, semua warga negara sama atau setara kedudukannya di depan hukum, harus dapat dibuktikan. Siapapun yang melanggar hukum (Presiden sampai rakyat paling bawah) harus diproses hukum sesuai ketentuan yang berlaku. Tidak boleh membedakan individu berdasarkan SARA, jabatan, dan kedudukan.
Ingat, kasus Ahok yang kentara diistimewakan harus sudah dibuang jauh dan jangan diulang kembali. Praktik hukum Ahok kepada VBL, seharusnya tidak terulang, di mana proses hukumnya berjalan setelah ada desakan berbagai elemen bangsa yang turun ke jalan menuntut keadilan. Bila ini terjadi (diulang), sungguh riskan. Akibatnya, bagi keutuhan NKRI yang disebut sebagai negara berlandaskan hukum.
Kini fenomena abai hukum kepada para pejabat dan petugas hukum semakin terlihat jelas, di mana ada dugaan pelanggaran hukum yang nyata di depan mata, tapi tak seorang pun peduli kemudian berani bersikap. Tak seorang pun pejabat berwenang mengingatkan atau mendorong perlunya proses hukum atas tindakan VBL. Semua koor diam demi keselamatan jabatan, ketimbang berani menyuarakan penegakan hukum yang berkeadilan.
Tentu sebagai pejabat berwenang di negara hukum, baik di jajaran eksekutif atau yudikatif berkewajiban mengingatkan perlunya menjalani proses hukum demi keluhuran negara yang berlandaskan hukum.
Sebaliknya, tatkala ada pejabat negara yang nyata melakukan pelanggaran hukum, apalagi pejabat yang terkait partai politik pengusung penguasa, tak satupun berani kritis mengatakan kebenaran dan keadilan.
Sungguh disayangkan sikap para pejabat berwenang tatkala ada sosok yang melecehkan kebenaran dan keadilan serta menebar kebencian dan permusuhan sesama anak bangsa, justru diam seribu bahasa. Ini pertanda apa?
Bila dikaji dengan seksama dan jujur tentang pidato VBL, maka tegas dan jelas, tak terbantah mengandung penodaan ajaran Islam, memfitnah ajaran khilafah Islamiyah, menebar permusuhan, dan kebencian antarumat beragama, mengadu domba anak bangsa, dan mengancam pembunuhan umat Islam.
Sungguh beruntung Indonesia dihuni mayoritas muslim, karena bukan anarkis yang terjadi meski disakiti, tapi cuma ingin negara hadir untuk melaksanakan proses hukum yang benar dan adil sesuai amanah negara hukum.
Bukankah pemerintah selalu menuntut rakyat harus patuh dan taat pada hukum? Pada titik ini, polisi harus berani menyatakan kebenaran adalah kebenaran dan kesalahan adalah kesalahan serta tidak mau merekayasa yang salah jadi benar dan yang benar jadi salah, karena akan menghancurkan NKRI.
Oleh karena itu, polisi harus terbukti profesional dengan mengedepankan kepentingan bangsa dan negara, di mana tidak nengulangi lagi keberpihakan proses hukum seperti yang pernah terjadi dalam kasus Ahok.
Saatnya polisi berani tidak mengulangi lagi atau menolak penempatan Ahok di Kantor Korps Brimob, karena selain bukan perintah pengadilan atau UU, juga bukan sebagai Lembaga Pemasyarakatan seperti yang diamanahkan UU. Jika kondisi ini tetap berjalan, berarti polisi masih melakukan penyimpangan, sehingga cerminan praktik negara hukum di Indonesia masih jauh dari harapan.
Kini harapan rakyat atas tegaknya negara hukum ada di tangan penegak hukum, terutama polisi sebagai ujung tombaknya. Bila praktik kesetaraan diterapkan bagi semua warga negara, maka negara hukum yang kita cita-citakan akan menemui titik terang.
Oleh karena itu, pembuktian kepada rakyat, bahwa polisi paling depan peduli terhadap hukum harus nyata dan pasti. Tugas menegakkan hukum oleh polisi memang berat, tapi akan dirasa ringan bila mengedepankan kejujuran, kebenaran dan keadilan.
Selamat berjuang menegakkan kebenaran dan keadilan demi NKRI yang rukun dan damai. Merdeka!
Oleh Birru Ramadhan, pemerhati sosial politik