Ditulis Oleh: Achmad Nur Hidayat MPP | Pakar Kebijakan Publik dan Pengajar FEB Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta dan CEO Narasi Institute
KEPERCAYAAN dunia yang diberikan kepada Indonesia dalam pertemuan G20 perlu dikaji serius dalam perspektif politik ekonomi karena agenda strategis tersebut dapat mempengaruhi pengaruh politik dan ekonomi Indonesia sebagai negara berkembang yang dapat naik kelas dari sukses sebagai even organizer penyelenggara KTT menjadi sukses sebagai pemimpin dunia yang menguraikan dan menyelesaikan persoalan-persoalan dunia.
Para negara anggota G20 adalah negara yang paling berpengaruh dalam bidang ekonomi, keuangan, perdagagan internasional dan representasi penduduk dunia.
Bagaimana tidak, G20 adalah kumpulan pemerintahan yang beranggotakan sembilan belas negara plus Uni Eropa yang skala kekuatannya merepresentasikan 85% perekonomian global, 80% investasi global, 75% perdagangan internasional, dan 66% penduduk dunia. Dari Asia Tenggara, hanya Indonesia yang berstatus sebagai anggota tetap.
Indonesia boleh berbangga diri karena tahun 2022 ini merupakan waktu awal rekoveri dunia untuk memulihkan diri dari dampak ekonomi yang disebabkan oleh Pandemi Covid-19. Indonesia memilih Bali sebagai pusat kegiatan dan mengusung tema “Recover Together, Recover Stronger,” atau dalam bahasa Indonesianya adalah “Pulih Bersama, Pulih dan Menjadi Lebih Kuat.”
Dalam Tinjauan Politik Ekonomi Presidensi G20 Bukan Penghargaan Namun Peluang.
Sejujurnya menjadi host dan presidensi G20 bukan penghargaan atas kemampuan Indonesia dalam memulihkan diri dari pandemi. Indonesia termasuk negara dengan penanganan COVID19 terburuk demikian laporan ketahanan terhadap Covid-19 yang dibuat oleh Bloomberg pada 27 Juli 2021 silam. Indonesia berada di urutan paling bawah yaitu 53 dari 53 negara yang diobservasi.
Bloomberg menggunakan indikator yang sulit terbantahkan dalam memberikan nilai terburuk bagi Indonesia diantaranya adalah kualitas fasilitas kesehatan, cakupan vaksinasi, kematian, proses perjalanan hingga pelonggaran perbatasan.
Persoalan tingkat keketatan soal pembatasan wilayah atau lockdown, Bloomberg memberikan nilai 69 sementara Malaysia mendapat nilai lebih tinggi 81. Persoalan angka kematian akibat COVID19, Bloomberg angka kematian Indonesia tertinggi yaitu lebih dari 1300 orang dalam sehari dan rendahnya penduduk yang di vaksin lengkap dua kali baru sekitar 36,3% populasi menempatkan Indonesia sejajar dengan negara berperingkat rendah versi Bloomberg lainnya seperti Bangladesh dan Filipina.
Tedros Adhanom Ghebreyesus Kepala Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan Indonesia bersama negara Afrika lainnya adalah contoh kesenjangan akses vaksinasi antara negara kaya dan miskin di dunia. Tedros menyebutnya sebagai bencana kegagalan moral untuk akses vaksinasi Covid-19 bagi setiap orang.
Adapun negara yang berada pada peringkat pertama dengan tingkat ketahanan terbaik terhadap Covid-19 adalah Norwegia. Negara Nordik ini naik 10 peringkat dari ranking sebelumnya dengan skor 77,2. Sampai Desember 2021 ini Norwegia berhasil melakukan vaksinasi lengkap 71,6 persen populasinya.
Perhelatan G20 di Indonesia seharusnya menjadi momentum bagi Indonesia untuk memperbaiki penanganan COVID19nya. Dengan menjadi tuan rumah G20 tahun 2022, dunia akan memantau bagaimana Indonesia melanjutkan program-program penanganan COVID. Oleh karena itu Presidensi G20 seharusnya menjadi ajang pembuktian diri bahwa Indonesia mampu menjadi negara ketiga yang terbaik penanganan COVID19nya.
Waspadai Kegagalan Penanganan COVID19 Tahun 2022 Berdampak Presidensi G20
Penanganan COVID19 harus lebih baik terutama disaat munculnya varian Omicron yang dikabarkan sudah masuk ke Singapura pada 5 Desember 2021 kemarin. Indonesia masih terkesan santai menghadapi Omicron, beda dengan Jepang dan Israel yang segera menutup diri dari kedatangan WNA ke negaranya. Indonesia hanya membatasi kedatangan WNA dari 11 negara yang moyoritas negara Afrika dan Hongkong.
Padahal windows of opportunity Indonesia dalam menutup bandara dan pelabuhan sangat sempit, sehingga penutupan bandara dan pelabuhan seharusnya dilakukan segera. Bila kasus omicron sudah masuk Indonesia, maka penutupan tersebut menjadi tidak berguna lagi
Para pembuat kebijakan seharusnya bertindak cepat dan berani mengambil langkah tegas mencegah varian baru tersebut, apalagi tahun 2022, Indonesia seharusnya sudah menunjukan tren turun atas kasus positif varian apapun dari COVID19.
Kegagalan penurunan kasus positif COVID19 di tahun 2022 akan mempengaruhi tingkat kepercayaan yang diberikan kepada Indonesia, tentunya akan mempengaruhi persepsi para pelaku ekonomi di tingkat internasional terhadap perekonomian dalam negeri. Bila kepercayaan tersebut menurun maka akan mempersulit upaya pemerintah untuk mengundang investasi dari luar negeri, yang akan berdampak pada percepatan pemulihan perekonomian Indonesia.
G20 dan Pemulihan Pariwisata Bali, Namun Kewaspadan Omicron Harus diperkuat
Bali menjadi salah satu hotspot bagi penyelenggaran KTT G20 mendatang. Di Bali akan terdapat pertemuan dari berbagai macam tingkatan, termasuk di tingkatan menteri dan di tingkatan kepala negara. Semoga pemulihan sektor pariwisata Indonesia dimulai dari Bali seiring dengan pertemuan-pertemuan Internasional tersebut.
Pertemuan G20 diharapkan menjadi ajang pertemuan fisik atau offline yang akan berdampak positif terhadap perekonomian di Bali, dan akan membuka banyak lapangan pekerjaan. Namun kemungkinan diselenggarakan secara online dapat saja terjadi yaitu ketika penanganan COVID19 Indonesia memburuk di tahun 2022 karena kelambanan para pengambil kebijakan menyikapi varian Omicron tersebut yang akhirnya memaksa pertemuan G20 diselenggarakan secara online atau daring.
Tentunya, Indonesia tidak mengharapkan pertemuan G20 diselenggarakan secara online/daring karena efek muilplier bagi pariwisata, sektor riil dan pemulihan ekonomi menjadi tidak sesuai harapan.
Agenda Politik Ekonomi Indonesia bagi Dunia
Indonesia dalam masa persiapan presidensi G20 saat ini dapat menyiapkan beberapa agenda penting yang menjadi persoalan global saat ini. Agenda tersebut adalah inklusifitas penanganan kesehatan, transformasi digital dan transisi menuju sustainable energy.
G20 dan Inklusifitas penanganan kesehatan
Indonesia dapat mewakili suara dunia ketiga dalam isu inklusifitas penanganan kesehatan. Dunia menyaksikan ketimpangan yang mendalam seputar persoalan vaksin terutama antara negara penghasil vaksin dan negara yang tidak memiliki akses vaksin. Secara kemanusiaan, seluruh manusia berhak mendapatkan vaksin namun sayangnya tidak semua negara mampu menemukan vaksin buat masyakaratnya. Disisi lain negara Barat sebagai negara penghasil vaksin sudah melakukan vaksinasi lengkap kepada lebih dari 70 persen warganya bahkan sedang menerapkan vaksinasi ketiga sebagai boosters.
Ketimpangan tersebut perlu diangkat dalam G20 dan seharusnya memunculkan komitmen dan konsensus bersama negara G20 untuk meningkat akses kepada seluruh negara khususnya negara ketiga untuk mendapatkan vaksin yang terjangkau.
Namun sebelum mengangkat inklusivitas tersebut di dunia internasional, Indonesia harus menjadi contoh terdepan terdahulu dalam vaksinasi di dalam negeri. Jumlah vaksinasi daerah masih jauh tertinggal dari kota besar di Pulua Jawa. Persoalan bukan karena tidak tersedianya vaksin namun persoalan logistik membawa vaksin tersebut ke seluruh pelosok daerah dan juga edukasi masyarakat untuk mau divaksin. Tantangan tersebut perlu dijawab dengan program vaksinasi yang terstruktur, sistematis dan masif (TSM) bukan dengan speech yang jauh dari kenyataannya.
G20 dan Transformasi Ekonomi Digital
Pandemi Covid-19 merupakan momentum untuk mendorong transformasi digital di berbagai aspek termasuk dalam sektor keuangan. Banyak negara yang memahami pentingnya transformasi digital namun tidak memiliki kemampuan dalam menyiapkan infrastruktur dan eksostem digital karena investasi digital tergolong mahal. Teknologi digital dikuasai oleh negara maju seperti AS, China dan Rusia bahkan narasi global dunia menyaksikan perdebatan keamaaan teknologi 5G antara AS dan China. Persaingan teknologi digital yang tidak sehat membuat akses digital bagi negara-negara ketiga terbatas.
Indonesia dapat mendorong regulasi transformasi digital yang sehat secara global dimana aturan permainan ekonomi digital menerapkan prinsip fair, berbasis persaingan yang sehat dan memberikan kemudahan akses bagi seluruh masyarakat dunia. Dunia membutuhkan sistem pelayanan teknologi global yang inklusif, efisien dan cepat. Indonesia harus menjadi pelopor penerapan global governance untuk teknologi digital khususnya teknologi berbasi 5G, bigdata dan artifisial intelligence. Kohesifitas teknologi secara global akan menyebabkan semakin mudahnya interaksi digitalisasi antar negara yang akhirnya dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi negara tersebut.
G20 dan Transisi Green Energy
Komitmen negara-negara dunia terhadap lingkungan masih minim sementara kerusakan lingkungan sudah membawa dampak yang nyata bagi kehidupan manusia. Dalam pertemuan COP26 di Glasglow beberapa pekan lalu, sudah menunjukan komitmen internasional yang baik terhadap lingkungan. Indonesia juga sudah menunjukan komitmennya untuk menandatangani kesepakatan transisi batu bara global menuju energi bersih pada KTT COP26 untuk menghentikan penggunaan batu bara secara bertahap hingga tahun 2040.
Namun transisi menuju green energy menyisahkan agenda kerja yang sangat banyak dan membutuhkan kerjasama internasional. Indonesia sudah menerapkan karbon tax dalam UU HPP yang baru. Hal ini menunjukan Indonesia termasuk negara dunia ketiga yang terdepan dalam isu lingkungan.
Berbagai bencana yang terjadi akhir-akhir ini di Indonesia seperti Banjir Bandang dibeberapa daerah dan Erupsi Gunung Smeru seharusnya membuat Indonesia makin menyadari isu lingkungan dan mulai berbenah dengan menyiapkan aturan yang tidak eksploitatif terhadap lingkungan. Kritik pengamat lingkungan terhadap Indonesia adalah kebijakan pro lingkungan di Indonesia masih diatas kertas, sementara kerusakan lingkungan terjadi dengan kecepatan yang eksponensial.
Indonesia dengan kepandaiannya berdiplomasi seharusnya menjadikan G20 tersebut sebagai momentum of truth dari pemimpin dunia akan pentingnya menata investasi ekonomi yang lebih ramah lingkungan. Eksploitasi tanpa kompensasi lingkungan adalah kejahatan.
Sebenarnya, Indonesia sendiri membutuhkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Untuk mencapai Indonesia lima besar dunia, Indonesia membutuhkan pertumbuhan ekonomi 7-8 persen setiap tahunnya secara konsisten sampai 2045. Beberapa ahli menyebutkan dengan model dan struktur ekonomi Indonesia saat ini bila mengejar pertumbuhan ekonomi 8 persen, maka laju kerusakan yang ditimbulkan dua kali lipat yaitu 16 persen setiap tahunnya.
Perubahan iklim semakin terasa dampaknya bagi kehidupan manusia, kebakaran hebat di California, Turki, Australia dan negara lain pada tahun 2021 ini seharusnya menjadi refeksi pentingnya negara G20 untuk berkerjasama lebih serius lagi bagi mencari solusi perubahan iklim global.
Bila satu negara tidak bersepakat mengurangi karbonnya maka perubahan iklim yang lebih buruk tidak dapat dihindari juga. Kerjasama terkait perubahan iklim tidak bisa dilakukan parsial dan tidak kolektif harus kompak dan komitmen harus disampaikan dalam satu voice yang sama. Ini tantangannya.
Indonesia perlu jujur kepada dunia bahwa model ekonomi Indonesia masih menerapkan konsep struktur ekonomi kolonialis yang eksploitatif dimana ekonomi tergantung pada sektor komoditas dan primer. Kelapa Sawit dan Batubara adalah sumber pendapatan negara yang diandalkan namun dengan ikutnya komitmen Indonesia pada COP26, Indonesia harus mau berinvestasi besar pada penerapan teknologi dan serius menata SDMnya. Konsep Indonesia menjadi ekonomi nomor 4 dunia harus disertai model ekonomi gaya baru yang serius berinvestasi pada teknologi ramah lingkungan dan menerapkan inovasi sebagai sumber pertumbuhan ekonominya bukan lagi kepada sektor primer yang sangat eksploitatif.
Indonesia seharusnya menjadi katalis yang konstruktif dalam memecahkan ketegangan dunia saat ini. Polarisasi AS-China seharusnya tidak merusak tatanan ekonomi dunia. Bila ada kompetisi diantara kekuatan ekonomi AS dan China seharusnya tidak memiliki efek destruktif bagi tatanan ekonomi negara lain.
Indonesia seharusnya menjadi pelopor dalam membuat aturan main kompetisi ekonomi AS dan China yang lebih sehat sehingga negara-negara lain yang mayoritas tidak terkena dampak ekor (tail effects) dari kompetisi tersebut. Indonesia seharusnya bisa membangkitkan semangat kebersamaan dan kerjasama multilateral yang selama ini semakin tergerus.
Dalam melaksanakan Presidensi KTT G20 tahun 2022. Indonesia juga perlu belajar dari event pertemuan IMF-World Bank 2018 lalu dimana Indonesia tuan rumahnya. Harus diakui, Indonesia sukses dalam melaksanakan KTT IMF-World Bank tersebut namun Indonesia belum optimal menawarkan solusi-solusi keuangan internasional yang ada. Indonesia harus naik kelas lagi dari sukses menjadi event organizer penyelenggara KTT menjadi sukses menjadi aktor aktif yang menguraikan dan menyelesaikan persoalan-persoalan dunia. Semoga dan Selamat Bekerja Indonesia!
(***)