Artikel ini ditulis oleh Direktur Pusat Media dan Demokrasi LP3ES, Wijayanto.
Butuh waktu bagi bangsa ini untuk menjadi arif
Kesabaran adalah bumi
Kesadaran adalah matahari
Keberanian menjadi cakrawala
Perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata
(WS Rendra).
Setelah tiga hari refleksi yang serius, dari 23 hingga 25 Juni 2022, usai sudah sekolah demokrasi LP3ES. Acara ini dapat dikatakan sukses dalam menjalankan agenda utama: mendiskusikan masalah-masalah penting bangsa menuju 2024 mulai dari soal politik uang hingga kesetaraan gender dan kerusakan lingkungan.
Sekolah demokrasi juga berhasil menghadirkan putra-putri terbaik bangsa yang tengah berada di Eropa dari mulai Belanda, Belgia, Jerman hingga Britania, juga para akademisi terbaik menjadi pembicara dari Indonesia dan Belanda.
Tak hanya itu, ia juga berhasil mendapatkan liputan puluhan media ternama dalam ikhtiar untuk mengubah percakapan menuju pemilu 2024. Namun ada satu kekurangan yang cukup mencolok dari acara ini: tak ada satu pun politisi yang kami undang di acara penutupan yang bisa hadir karena satu dan lain alasan.
Setelah sebagian besar memberi lampu hijau yang tampak menerbitkan harapan, mereka nyatakan tidak dapat hadir di menit terakhir karena alasan kesibukan melalui juru bicara atau staf mereka masing-masing.
Ada beberapa catatan yang mau kami sampaikan terkait ini:
Pertama, para politisi menyampaikan bahwa mereka tak dapat hadir karena kesibukan dan kepadatan jadwal. Alasan ini kami terima namun sangat sulit untuk kami mengerti. Dengan kemajuan teknologi seperti sekarang, mereka hanya perlu memencet tombol zoom dan langsung terhubung dengan Belanda.
Tapi ini bukan hanya perkara teknis. Ketidakhadiran itu menerbitkan cemas karena karena pada saat yang sama kami mendengar bahwa salah satu alasan utamanya adalah sebagian besar politisi ini ingin terlebih dahulu fokus pada agenda mengamankan koalisi.
Kehadiran pada forum ini bisa berdampak pada rencana besar koalisi itu. Tampak sekali bahwa kita hanya memiliki politisi yang di dalam pikiran mereka adalah pemilu berikutnya, bukan negarawan yang memikirkan nasib bangsa 100 tahun yang akan datang.
Kedua, di tengah gegap gempita pemilu 2024 yang sudah demikian dekat, kita sangat sulit untuk mengetahui visi pemimpin hari ini yang merupakan calon pemimpin bangsa 2024 tentang masa depan demokrasi kita.
Setiap hari kita hanya membaca berita tentang kemungkinan koalisi atau trend elektabilitas, namun tidak pernah mendengar bagaimana gagasan mereka. Maka semestinya forum ini adalah kesempatan untuk diskusi, menyampaikan gagasan dan visi untuk masa depan bangsa, apalagi dengan puluhan media yang meliput dan melaporkannya.
Ketiga, forum seminar sekolah demokrasi diadakan oleh lembaga yang tak perlu diragukan kredibilitasnya: LP3ES yang konsisten menerbitkan kajian demokrasi selama lebih dari setengah abad, KITLV lembaga kajian ilmiah yang prestius di Belanda yang telah berusia ratusan tahun, Universitas Diponegoro salah satu perguruan tinggi terbaik di negeri ini, dan PPI Leiden yang melahirkan para pemimpin bangsa dahulu dan hari ini. Undangan semacam ini semestinya adalah kehormatan bagi para politisi itu dan juga kesempatan yang sangat baik untuk menyampaikan gagasan mereka tentang masa depan.
Apalagi semua politisi yang kami undang adalah sarjana, kandidat doktor bahkan doktor atau doktor honoris causa. Gelar-gelar itu semestinya adalah refleksi bahwa mereka semua adalah pembelajar. Sebagai sesama pembelajar dan pencinta ilmu pengetahuan, kesempatan diskusi itu adalah kemewahan. Membaca, menulis dan berdiskusi adalah syurga bagi para pembelajar. Maka keengganan untuk hadir di forum yang demikian akademis sungguh menerbitkan tanya.
Keempat, peserta sekolah demokrasi ini adalah putra-putri terbaik bangsa di Eropa yang sangat boleh jadi kelak akan menjadi pemimpin masa depan. Hadir di forum ini adalah kesempatan yang sangat baik bagi para politisi itu menyapa dan melakukan kaderisasi yang merupakan salah satu tugas partai politik dan tugas siapa pun yang memiliki jiwa kepemimpinan dan peduli masa depan bangsa ini.
Kelima, dahulu, kita memiliki generasi pemimpin yang filosof dan pemikir seperti Sukarno, Hatta, Syahrir, Tan Malaka yang ratusan halaman tulisan mereka lahir berisi gagasan cemerlang untuk masa depan bangsa. Kami khawatir kini kita hanya memiiki generasi pemimpin yang piawai memoleh citra dengan membuat konten di media sosial: twitter, tik tok, Instagram, yang kaya sensasi namun dangkal tanpa isi.
Dengan semua pertimbangan di atas, kami khawatir pada 2024 ini kita akan hanya melihat pemilu yang sama dengan pemilu-pemilu sebelumnya: pemilu yang hanya berisi sirkulasi kekuasan di antara elit yang tidak ada sangkut pautnya dengan amanat penderitaan rakyat, pemilu yang hanya menjadi penanda berlangsungnya demokrasi prosedural namun masih jauh dari demokrasi substansial yang ditandai oleh pemenuhan hak warga, pemilu yang hanya berisi perebutan kekuasaan yang menghalalkan segala cara dan bukan festival gagasan untuk memperjuangkan nasib bangsa.
Lalu untuk apa kita melakukan pemilu yang sangat mahal itu? Selama ritual yang kita lakukan masih sama, selama itu pula pemilu hanya menjadi ritual reproduksi oligarkhi predatoris dan peradaban politik kita akan diliputi kegelapan.
Pemilu dari ke waktu semestinya merekam evolusi pemikiran bangsa juga evolusi ide dan gagasan dalam ikhtiar untuk memenuhi janji kemerdekaan: melindungi segenap tumpah darah, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan memajukan kesejahteraan umum.
Ia semestinya merefleksikan semakin matangnya peradaban politik kita dalam mewujudkan cita-cita luhur melalui satu upaya kolektif yang melibatkan segenap anak bangsa, bukan hanya kasak-kusuk elit di ruang gelap demokrasi.
[***]