PEMBERITAAN dari Desember 2016 hingga saat ini memuat mengenai keinginan Presiden Joko Widodo untuk menghimpun dana terkait dengan pembangunan Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII). Pendirian UIII sudah mendapat persetujuan Presiden Joko Widodo melalui Peraturan Presiden RI No. 57 Tahun 2016 yang disahkan pada 29 Juni 2016. Berdasarkan pemberitaan pada 19 Januari 2018, total biaya pembangunan adalah Rp 3,9 triliun dan dari APBN 2018 sudah tersedia sebesar Rp 600 Miliar. Sekitar 15 ha dari luas lahan 142 ha di bekas lahan RRI, Kelurahan Cisalak, Cimanggis, Depok, Jawa Barat. Pembangunannya akan dimulai pada pertengahan 2018 dan ditargetkan selesai pada 2022.
Urgensi pembangunan UIII dipertanyakan karena masih banyak infrastruktur pendidikan terutama di pedalaman membutuhkan bantuan pemerintah. Argumentasi yang disampaikan Wakil Presiden, Jusuf Kalla melalui Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Basuki Hadimuljono yang menyebutkan tujuan pembangunan ini sebagai “penggambaran Islam di masa mendatangâ€, menunjukkan kesan kurang proporsional.
Menurut Direktur Jenderal Sumber Daya Ilmu Pengetahuan Teknologi dan Pendidikan Tinggi Kemenristekdikti Ali Ghufron Mukti, masih terdapat sekitar 4.500 perguruan tinggi negeri (PTN) dan perguruan tinggi swasta (PTS) yanga ada saat ini, sebagian besar mutunya di bawah standar.[1] Di samping itu, dari sisi infrastruktur pendidikan di pelosok negeri masih ditemukan kesulitan akses transportasi, bangunan sekolah yang tidak layak pakai, dan kualitas pengajar yang masih terbilang masih rendah.
Ditilik dari alokasi pendanaan UIII yang fantastis sebesar Rp 3,9 Trilliun, maka dengan jumlah alokasi tersebut dapat digunakan untuk membuat 20 rumah sakit jika disandingkan dengan pembuatan Rumah Sakit Ridwan Meurakarsa di Jakarta Timur membutuhkan biaya Rp 117 Miliar di tahun 2015. Dana sebesar itu juga dapat digunakan untuk memperbaiki 32 sekolah di Garut, Jawa Barat akibat gempa bumi pada 15 Desember 2017 lalu.
Dalam pendanaan Peraturan Presiden RI No. 57 Tahun 2016 yang disahkan pada 29 Juni 2016, penyelenggaraan UIII bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan Non Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
Sehingga sangat besar tendensinya menggunakan skema KPBU, yakni kerjasama antara pemerintah dan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur untuk kepentingan umum dengan mengacu kepada spesifikasi yang telah ditetapkan sebelumnya oleh Menteri/Kepala Lembaga/Kepala Daerah/BUMN/BUMD, yang sebagian atau seluruhnya menggunakan sumber daya Badan Usaha dengan memperhatikan pembagian risiko antara para pihak.
Selama ini pola tersebut dianggap kurang baik performanya karena lambat persiapan proyek infrastruktur KPBU antara lain tidak adanya alokasi biaya persiapan proyek. Padahal, tidak semua kementerian/lembaga yang menjadi Penanggung Jawab Proyek Kerja sama (PJPK) memiliki kompetensi dan pengalaman yang memadai untuk menyelenggarakan pelelangan investasi proyek KPBU.
Proyek model KPBU juga besar tendensinya bergantung pada model lembaga perantara keuangan seperti PT SMI, Indonesia Infrastructure Finance (IIF) dan Regional Infrastructure Development Fund (RIDF), dimana sumber keuangannya mengandalkan utang luar negeri.
Pendirian UIII juga akan dibangun di daerah Jawa Barat, rasanya tidak adil jika melihat pembangunan di luar Jawa yang masih jauh tertinggal. Basuki Hadimuljono padahal mengungkapkan pada 2016 bahwa pembangunan di Jawa akan difokuskan untuk pemeliharaan dan pengembangan sedangkan di luar jawa untuk pembangunan baru (Suara 9/10/2016). Pemilihan Depok sebagai lokasi pembangunan UIII juga dipertanyakan karena banjir yang kerap terjadi akibat pembangunan Tol Cijago (15/3/2017). Tambahan pembangunan baru diyakini akan menambah pula tingginya banjir di kala musim penghujan.
Padahal prasyarat untuk menjadi universitas berkaliber internasional lebih menekankan pada standar kualitas akademik. QS World University Rankings dapat menjadi sandaran penentuan kualitas sebuah universitas aspek-aspek pada: 1) jumlah riset yang dikeluarkan universitas, 2) sistem pengajaran yang mumpuni, 3) lulusan aktif yang memiliki kemampuan kerja baik, 4) fasilitas lengkap, 5) interaksi mahasiswa yang dikaitkan dengan penerapan teknologi sebagai penunjang proses belajar-mengajar, 6) menciptakan inovasi baru dan terapan yang dapat dipertanggung jawabkan, 7) investasi pada budaya dan seni, 8) inklusivitas dalam pemberian beasiswa tanpa diskriminasi, 9) fakultas dengan spesialisasi khusus dengan pertimbangan akreditasi dan disiplin ilmu.
Berkaca pada penilaian tersebut sudah tentu membangun institusi pendidikan baru dengan kata ‘internasional’ di belakangnya tidak menjamin internasionalisasi dari universitas tersebut:
ELSAM menilai penggelontoran dana besar-besaran untuk pendirian UIII sama sekali tidak efisien mengingat jumlah universitas berbasis Islam di Indonesia yang tidak sedikit dan lebih memerlukan dorongan baik dalam dana, pengajar, dan riset untuk dapat bersaing bukan hanya secara internasional namun lebih dulu bersaing secara nasional. Selain itu dana yang digelontorkan juga akan jauh lebih efisien jika digunakan untuk pembangunan di luar Jawa, pembangunan rumah sakit, atau perbaikan infrastruktur sekolah dan universitas.
Pembangunan UIII juga menunjukkan bahwa Presiden Joko Widodo tidak berpijak pada pendekatan berbasis hak (rights based approach) karena tidak berpihak pada kelompok rentan (vulnerable groups), akar permasalahan (root causes), keterkaitan antara subjek hak dan pengemban kewajiban (rights-holders and duty-bearers), dan pemberdayaan (empowerment).
Oleh karena itu, ELSAM mendesak kepada Pemerintah untuk meninjau rencana pembangunan UII dan mengalokasikan dana pembangunannya untuk pengembangan pembangunan sektor lain yang lebih berdampak pada penjaminan dan pemenuhan hak asasi manusia.
Direktur Eksekutif Lembaga Studi & Advokasi Masyarakat (ELSAM), Wahyu Wagiman, S.H., M.H.