KedaiPena.Com – Direktur Eksekutif ICJR Erasmus Napitupulu mengkritik sikap kepolisian yang menjadikan pandemi Covid-19 sebagai momentum untuk membungkam kebebasan berpendapat warga negara secara eksesif melalui penjeratan pasal-pasal UU ITE dan KUHP.
“ICJR secara tegas mengecam tindakan tersebut dan meminta kepolisian agar segera menghentikan segala proses hukum terhadap setiap orang yang menggunakan haknya untuk berekspresi secara sah,” kata Direktur Eksekutif ICJR Erasmus Napitupulu kepada wartawan Rabu, (8/4/2020).
Dalam keterangannya, polisi menggunakan KUHP dan UU ITE sebagai dasar dengan mengatakan para pelaku melakukan pidana penghinaan terhadap presiden. Padahal, kata Erasmus, tindak pidana itu tidak dikenal dalam hukum Indonesia.
“Namun lebih dari itu, ICJR menilai semua kasus tersebut mengarah pada masalah pembatasan kemerdekaan berpendapat dan berekspresi atas nama penghinaan presiden,” ujarnya.
Terkait isu penghinaan presiden ini, Mahkamah Konstitusi (MK) melalui Putusan Nomor 013-022/PUU-IV/2006 telah membatalkan pasal-pasal dalam KUHP yang dapat menyasar kasus-kasus penghinaan Presiden seperti Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 ayat (1) KUHP.
“MK menegaskan bahwa perbuatan kriminalisasi terhadap penghinaan Presiden tidak lagi relevan untuk diterapkan dalam masyarakat demokratis, negara yang berkedaulatan rakyat dan yang menjunjung tinggi hak asasi manusia,” ujarnya.
Menurut Erasmus, MK juga sudah menekankan bahwa tidak boleh lagi ada pengaturan sejenis dengan delik penghinaan presiden yang sudah diputus MK bertentangan dengan Konstitusi.
“Dengan demikian ketentuan pidana apapun mengenai penghinaan terhadap penguasa yang dilihat secara kelembagaan tidak dapat digunakan untuk melindungi kedudukan Presiden sebagai pejabat dan pemerintah,” jelas dia.
Selain berdasar Putusan MK tersebut, kata Erasmus, pasal-pasal lain juga secara eksesif kerap digunakan oleh aparat untuk menjerat orang-orang yang mengeluarkan ekspresinya secara sah karena dianggap menghina penguasa.
“Padahal pasal tersebut tidak tepat untuk diterapkan, yaitu Pasal 27 ayat (3) UU ITE tentang penghinaan, Pasal 156 KUHP dan Pasal 28 ayat (2) UU ITE tentang ujaran kebencian, dan Pasal 207 KUHP tentang penghinaan terhadap kekuasaan umum,” tutur dia.
Menurut Erasmus, Pasal 28 ayat (2) UU ITE sama sekali tidak dapat digunakan untuk penghinaan individu apalagi penguasa. Ia menilai tindakan Polisi menggunakan Pasal 28 ayat (2) UU ITE sebagai bentuk kesewenang-wenangan.
Untuk itu, ICJR meminta aparat kepolisian agar segera menghentikan segala proses hukum khususnya terhadap setiap orang yang sedang menggunakan haknya untuk berekspresi secara sah yang dijamin Konstitusi.
Selain karena menerapkan pasal-pasal UU ITE dan KUHP secara keliru, Erasmus menyebut tindakan aparat membungkam kemerdekaan berkespresi dengan menggunakan ancaman pidana hanya akan semakin memperburuk iklim ketakutan di tengah masyarakat.
“Lebih memprihatinkan, Polisi secara terbuka melawan putusan Mahkamah Konstitusi,” tutup Erasmus.
Sebelumnya, masyarakat yang kecepatan menghina Presiden Joko Widodo maupun pejabat pemerintah lainnya dalam menangani Covid-19 di media sosial dapat terancam sanksi pidana.
Surat Telegram Kapolri bernomor ST/1100/IV/HUK.7.1./2020 tersebut dikonfirmasi oleh Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karopenmas) Divisi Humas Polri Brigjen (Pol) Argo Yuwono.
Laporan: Muhammad Lutfi