NINOY Karundaeng saat ini adalah orang yang paling berbahaya di Indonesia. Dia ‘berludah api’. Apa pun yang keluar dari mulutnya membakar segalanya. Dan, itu adalah berarti bencana. Siapa pun yang namanya disebut Ninoy, bakal mengalami musibah dan sengsara.
Ya, Ninoy korban amuk massa di sekitar Pejompongan Jakarta Pusat yang diselamatkan Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) Al Falah itu, kini benar-benar sakti mandraguna. Dia juga bak bocah manja yang tengah merayakan ulang tahun, yang segala keinginannya dipenuhi orang tuanya.
Apa pun yang diinginkannya langsung diamini Polisi. Tidak tanggung-tanggung, 13 nama disebutnya, 13 nama itu pula yang langsung dicomot polisi dan menyandang status tersangka. Dan, jangan lupa, tiga dari 13 itu adalah emak-emak.
Menculik itu salah, tapi…
Merujuk kasus Ninoy ini, di grup-grup percakapan whatapps (WA) ada yang nyeletuk, menculik itu suatu kesalahan. Tapi melepaskan orang yang diculik adalah kesalahan yang lebih besar lagi.
Rupanya apes tengah menyergap sejumlah pengurus DKM masjid Al Falah Pejompongan. Mereka melakukan beberapa ‘kesalahan’. Pertama, para pengurus masjid itu ‘bersalah’ karena TIDAK (dengan huruf besar) menculik Ninoy.
Yang terjadi, justru mereka menyelamatkan buzzer alias anjing penggonggong Istana itu dari amuk massa. Cerita dan latar belakang peristiwa ini sudah berseliweran di grup-grup WA dan ranah media sosial. Jadi, tak perlu lagi saya ulangi di sini.
Masih dalam tuduhan menculik, nasib apes juga dialami Sekjen Persaudaraan Alumni 212, Bernard Abdul Jabbar. Pasalnya, justru Bernard yang menyelamatkan anjing penggongong Istana itu dari amuk massa. Bahkan, meminjam kalimat Jubir PA 212 Habib Novel Bamukmin, Ninoy berutang nyawa kepada Bernard.
Tapi, begitulah. Ninoy telah menyebut nama Bernard. Maka jam 3 dini hari, di jalan tol dalam perjalanan pulang dari Lampung, mobil Bernard dipepet lima mobil Polisi. Dia ditangkap tanpa selembar pun surat perintah penangkapan ditunjukkan saat kejadian.
‘Kesalahan’ para DKM yang kedua, mereka memperlakukan Ninoy dengan baik, memberi makan dan minum. Bahkan mereka menyewakan mobil untuk mengantar pria yang tulisan-tulisannya di medsos sarat dengan tebaran kebencian, hoax, dan fitnah kepada tokoh dan ummat Islalm itu pulang ke rumah. (Mana ada penculik melepaskan yang diculik, menyewakan mobil untuk mengangkut motor yang bersangkutan, dan mengantarkan pulang sampai ke rumah korbannya?)
‘Kesalahan’ ketiga, ya itu tadi, pengurus DKM melepaskan Ninoy. Maka, jadilah orang ini berludah api. Kebiasaannya menebar fitnah dan kebencian di dunia maya, kini wujudkan di dunia nyata, di hadapan polisi. Serunya lagi, aparat berbaju cokelat yang oleh kalangan demonstran dan aktivis disebut wercok alias wereng cokelat itu pun mengamini apa pun semburan ludah Ninoy.
Ninoy vs anjing
Masih ingat pepatah, menolong anjing terjepit menggigit? Maksudnya, anjing yang ditolong setelah lepas justru menggigit si penolong.
Seperti itukah Ninoy? O, tidaaaak. Dia lebih hina lagi. Coba perhatikan, si anjing yang telah ditolong dari keterjepitannya itu menggigit penolongnya dengan moncongnya sendiri. Tapi Ninoy?
Manusia rendah ini menggigit para penolongnya dengan menggunakan ‘moncong’ polisi. Maka, jadilah para penolong tadi ditangkapi polisi dan diganjar status tersangka. Ninoy juga tidak peduli dengan Bernard yang telah menyelamatkan nyawanya. Pendukung Jokowi garis keras itu dengan sengaja melupakan adegan saat dia berterimakasih serta mencium tangan Bernard karena nyawanya diselamatkan dari amuk massa.
Bagaimana dengan surat pernyataan bermaterai yang menyatakan, “saya telah ditolong dan diselamatkan oleh DKM masjid Al Falah dan Tim Medis serta warga.”? Di surat pernyataan itu, lelaki hina dina tersebut juga menulis, “Saya tidak akan menuntut dan mempermasalahkan kejadian ini, dan semua sudah diselesaikan dengan baik.”
Bahkan, menjelang akhir surat pernyataannya, pria yang ternyata derajatnya lebih rendah daripada anjing ini menulis, “Saya juga mengucapkan terima kasih kepada DKM masjid Al Falah dan Tim Media serta warga.”
Semua kalimat tersebut sama sekali tak bermakna. Di hadapan polisi dengan gampang Ninoy mengatakan, bahwa surat pernyataan itu dibuat karena terpaksa, di bawah tekanan dan paksaan pihak lain, walau pun dia juga menulis “Demikian surat pernyataan ini saya buat berdasarkan kesadaran tanpa paksaan dari pihak mana pun”. Dan, lagi-lagi, polisi mengamini apa pun kata Ninoy.
Kekesalan ummat Islam terhadap Ninoy khususnya ini membuat di grup-grup WA dan medsos berseliweran meme yang berbunyi, “Jika ada buzzer penghina Allah dan RasulNya yang dilindungi aparat, habisi saja tanpa jejak. Jangan ada saksi maupun bukti. Paham kaan…!?”
Ummat marah, wajar saja. Ninoy si anjing penggonggong Istana yang ditolong malah menebar fitnah kepada orang-orang yang menolongnya. Sudah begitu, patut diduga polisi menjadikan skandal ini sebagai pintu masuk menangkapi ulama dan aktivis ummat yang kritis terhadap penguasa.
Polisi begitu sigap memproses kasus yang dianggap pelakunya melibatkan ummat atau tokoh Islam dan aktivis kritis. Tapi pada saat yang sama, sangat lambat bahkan enggan memproses laporan jika pelakunya para anjing penggonggong Istana atau mereka yang pro penguasa. Ditolaknya laporan atas fitnah yang ditebar Denny Siregar atas ambulans Pemprov DKI yang dituding membawa batu dan bensin, adalah contoh terang-benderang ketidakadilan polisi.
Dengan seabreg fakta yang ada, tidak heran bila pakar hukum tata negara Universitas Parahyangan Asep Warlan Yusuf, menyatakan sejak dipimpin Kapolri Jenderal Tito Karnavian, Polri telah kehilangan jati dirinya sebagai lembaga penegak hukum dan telah berubah menjadi bumper Parpol pendukung Pemerintah.
Saya hanya ingin mengingatkan, bahwa segala sesuatu ada masanya. Kali ini, boleh saja Ninoy dan kawanan anjing penggonggong Istana sedang berpesta-pora. Saat ini boleh jadi polisi sedang di atas angin. Tapi, sekali lagi semua ada waktunya.
“… dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu, kami pergilirkan di antara manusia (agar mereka mendapat pelajaran). Dan agar Allah membedakan orang-orang yang beriman (dengan orang-orang kafir), serta agar sebagian dari kamu dijadikanNya (gugur sebagai) syuhada. Dan Allah tidak menyukai orang-orang yang zalim.” (TQS Ali Imron [3]:140).
Ingat, tidak ada pesta yang tak berakhir. Begitu juga dengan kalian!
Oya, satu lagi, siapa pun kalian, jika beriman dan punya Tuhan, tentu kalian paham dan yakin, bahwa setiap perbuatan baik dan buruk di dunia ini, sekecil apa pun, pasti akan mendapat balasan di akhirat. Dah, gitu ajah!
Oleh Edy Mulyadi, wartawan senior