KedaiPena.Com – Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Fadli Zon menilai, Menteri BUMN Erick Thohir telah membawa preseden buruk bagi perusahaan plat merah di tanah air.
“Pertama, Kementerian BUMN
membuat preseden buruk dengan mengangkat tokoh partai politik sebagai komisaris BUMN. Seburuk-buruknya pengelolaan BUMN di masa lalu, keputusan ini belum pernah terjadi sebelumnya,” kata Fadli dalam akun Twitter pribadi miliknya, Rabu, (15/7/2020).
Fadli beranggapan, pengangkatan tokoh parpol sebagai komisaris perusahaan negara berrtentangan dengan UU No. 19/2003 tentang BUMN, terutama Pasal 33 huruf (b) jo Pasal 45 Peraturan Pemerintah (PP) No. 45/2005.
Di mana dalam pasal tersebut dilarang ada anggota komisaris BUMN merangkap jabatan lain yang dapat menimbulkan benturan kepentingan.
“Penunjukkan itu juga melanggar Peraturan Menteri BUMN, KemenBUMN No. Per-02/Mbu/02/2015 yang menyatakan komisaris BUMN bukanlah pengurus partai politik,” ungkap Fadli.
Fadli menambahkan, sejak dilantik jadi menteri pada Oktober 2019, hingga saat ini Erick Thohir setidaknya telah mengangkat 9 tokoh parpol sebagai komisaris BUMN dari Pertamina, Bank Mandiri, BRI, Pelindo I, Hutama Karya, Telkom, hingga PLN.
“Ada sejumlah parpol yang sejauh ini mendapat jatah kursi komisaris BUMN. Ini adalah preseden buruk dalam pengelolaan BUMN,” beber Fadli.
Kedua, lanjut Fadli, Menteri BUMN juga telah mengabaikan azas kompetensi dan prinsip pembagian kekuasaan dengan memasukkan unsur-unsur aktif TNI, Polri, Badan Intelijen Negara (BIN), Kejaksaan, Kehakiman, serta BPK sebagai komisaris BUMN.
“Penunjukkan semacam ini menurut saya telah mengacaukan sistem, baik sistem meritokrasi di dalam perusahaan negara, maupun mengacaukan sistem tata negara modern yang seharusnya disiplin dengan pembagian kekuasaan,” tegas Fadli.
Fadli menambahkan, menurut data Ombudsman RI saat ini ada 27 orang komisaris BUMN yang berasal dari TNI aktif, 13 orang dari Polri, 12 orang dari Kejaksaan, 10 orang dari BIN, dan 6 orang dari BPK.
“Apa relevansinya tentara, polisi, jaksa, dan hakim yang masih aktif berdinas dijadikan komisaris BUMN. Lagi pula, penunjukkan semacam itu juga melanggar undang-undang. UU No. 34/2004 tentang Tentara Nasional Indonesia Pasal 47 ayat (1) dengan jelas yang menyatakan bahwa tentara hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif keprajuritan,” tutur Fadli.
Sedangkan yang ketiga, lanjut Fadli, menurut temuan Ombudsman, mayoritas TNI yang menjabat komisaris BUMN status kedinasannya masih aktif.
“Hal serupa juga berlaku bagi anggota polisi, sebagaimana diatur oleh UU No. 2/2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia,” tegas Fadli.
Sedangkan untuk yang ketiga, kata Fadli, terjadinya rangkap jabatan komisaris BUMN secara massif dan kolosal.
Akhir bulan lalu Ombudsman RI
merilis temuan soal 397 kasus rangkap jabatan di kursi komisaris BUMN dan 167 kasus rangkap jabatan yang terjadi di anak perusahaan BUMN.
“Angka itu jelas masif dan kolosal.
Dari angka tersebut menurut Ombudsman RI, 254 di antaranya merangkap jabatan di kementerian, 112 orang merangkap jabatan di lembaga non-kementerian, dan 31 orang merangkap jabatan sebagai akademisi,” ungkap Fadli.
Laporan: Muhammad Hafidh