KedaiPena.Com – Pada akhir tahun 2021lalu telah terjadi kelangkaan dan lonjakan harga minyak goreng di Indonesia. Hal ini cukup memprihatinkan mengingat Indonesia merupakan negara produsen dan eksportir CPO terbesar di dunia.
Namun sayangnya Indonesia tidak berdaulat dalam mencukupi kebutuhan domestik CPO sebagai bahan baku minyak goreng. Beberapa pihak menilai negara dinilai gagal dalam melakukan pengawasan (operasi pasar) dalam memastikan kestabilan harga dan ketersediaannya.
Salah satu isu krusial yang mengemuka sebagai penyebab polemik minyak goreng ini adalah adanya dugaan penguasaan sumber daya yang masih terkonsentrasi pada segelintir pemain besar.
Achmad Surambo, Koordinator Sawit Watch mengatakan, berdasarkan data Concentration Ratio (CR) yang dihimpun KPPU pada 2019, sekitar 40 persen pangsa pasar minyak goreng dikuasai empat perusahaan besar yang menguasai usaha perkebunan.
“Pengolahan CPO dan beberapa produk turunan salah satunya minyak goreng. Empat produsen tersebut diantaranya Wilmar International Ltd, Indofood Agri Resources Ltd, Grup Musim Mas, dan Royal Golden Eagle International (RGEI). Struktur pasar seperti itu, membuat industri minyak goreng di Indonesia masuk dalam kategori monopolistik yang mengarah ke oligopoly yang berdampak terhadap konsumen sebagai end-user yang merasa dirugikan,” kata dia dalam siaran pers yang diterima redaksi, Minggu (27/3/2022).
Selain itu pelaksanaan kebijakan program biodiesel berdampak pada pergeseran besar dalam konsumsi CPO dalam negeri. Sebelumnya konsumsi dalam negeri didominasi oleh industri pangan, namun sekarang menjadi industri biodiesel.
“Konsumsi CPO untuk biodiesel naik tajam dari 5,83 juta ton tahun 2019 jadi 7,23 juta ton tahun 2020. Di sisi lain, konsumsi CPO untuk industri pangan turun dari 9,86 juta ton pada 2019 jadi 8,42 juta ton di 2020,” lanjutnya.
Pengusaha kini lebih cenderung menyalurkan CPO-nya ke pabrik biodiesel karena pemerintah menjamin perusahaannya tidak bakal merugi. Pasalnya ada kucuran subsidi yang berasal dari Badan Pengelola Dana Perkebunan Sawit (BPDPKS) jika harga patokan di dalam negeri lebih rendah dari harga internasional.
“Sebaliknya, jika CPO dijual ke pabrik minyak goreng, pengusaha tak mendapatkan insentif seperti itu,” lanjut dia.
Situasi ini menunjukkan kegagalan Pemerintah Indonesia untuk merealisasikan kedaulatan pangan sebagian bagian dari hak asasi manusia. Kelangkaan minyak goreng dan lonjakan harga menunjukkan kegagalan Pemerintah Indonesia menjalankan politik pangan yang demokratik, berdasarkan keadilan sosial, dan kepedulian terhadap ekologi.
“Selain itu, situasi tersebut merupakan kegagalan pemerintah merealisasikan tujuan negara untuk memajukan kesejahteraan umum dan keadilan sosial, khususnya dalam menerjemahkan kedaulatan pangan sebagai politik hukum dan hak asasi manusia sebagai bagian dari manifestasi kewajiban konstitusionalitas negara,” papar dia.
Kedaulatan pangan merupakan hak warga negara atas pangan yang dibangun berdasarkan pilar kesetaraan, keberlanjutan, dan demokrasi seperti telah dimandatkan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs). Bahkan Pemerintah Indonesia semestinya tidak tunduk pada tuntutan pasar dan perusahaan, termasuk memberikan fasilitasi insentif bagi korporasi.
Laporan: Sulistyawan