KedaiPena.Com – Penggiat gerakan #2019GantiPresiden, Neno Warisman dihadang massa yang menolak deklarasi tersebut di Pekanbaru. Neno mengaku mendapat perlakuan kasar dari aparat setempat.
Pengakuan Neno itu disampaikan lewat video yang diunggah oleh Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Fadli Zon dalam akun Twitter-nya.
Neno tampak berada dalam mobil dengan beberapa orang. Neno mengaku dipaksa keluar dari mobil oleh sejumlah aparat. Neno juga memperlihatkan sejumlah aparat yang membawa senjata.
Selain Neno, caleg dari Gerindra Ahmad Dhani juga mengalami hal yang ketika melakukan deklarasi #2019GantiPresiden di Surabaya.
Dhani dihadang oleh polisi berserta massa yang menolak adanya deklarasi gerakan tersebut. Nama Dhani sedianya jadi perbincangan karena hadir di Surabaya, namun ditolak oleh segelintir orang.
Kedua belah pihak, baik dari kalangan partai oposisi hingga partai pro pemerintah saling serang terkait hal ini. Kalangan oposisi mengklaim gerakan #2019GantiPresiden telah melanggar Undang-undang dari kebebasan berpendapat.
Ketua DPP Partai Gerindra Sodik Mudjahid yang mengatakan bahwa penolakan terhadap Neno Warisman dan Ahmad Dhani merupakan bentuk pengkhianatan terhadap cita-cita reformasi.
“Rezim ini mengkhianati cita-cita reformasi untuk memgembangkan demokrasi dan empat pilar bangsa,†ujar dia kepada KedaiPena.Com, Senin (27/8/2018).
Tak hanya itu, kata Sodik, kejadian ini juga telah membuat rezim yang dipimpin oleh Jokowi mengulangi apa yang dilakukan oleh rezim Orde Lama dan Orde Baru.
“Yang dimana dulu PDIP jadi salah satu korbannya, dengan rezim memperalat Polri (dulu TNI) sebagai kaki tangan utamanya untuk memberangus hak berpendapat,†sindir Sodik.
Legislator asal Bandung ini, juga menilai bahwa rezim Jokowi sangat tidak pancasilais dan anti perbedaan. Rezim membentuk unit kerja kepresidenan dengan gaji mahal, yang katanya untuk memperkokoh ideologi Pancasila, tapi faktanya alergi dan tidak siap dengan perbedaan.
“Rezim melalukan tindakan yang tidak adil dan tidak beradab kepada mereka yang beda pendapat, padahal menyampaikan secara konstitusional,†tegas Sodik.
Bahkan pada kesempatan ini, Sodik juga menyindir, bahwa rezim ini standar ganda dengan mengaku bahwa Polri hebat dan kuat, namun faktanya tidak demikian.
“Faktanya Polri tidak bisa mengamankan dsn mengendalikan preman-preman pendemo penolak Neno Warisman. Bahaya jika Indonesia terus dikuasai oleh rezim yang tidak Pancasilais, tidak pro reformasi dan penghambat demokrasi,†tandas dia.
Berbeda dengan oposisi yang membela habis-habisan gerakan ganti presiden 2019 ini. Kelompok pemerintahan, melalui Ketua Fraksi Partai Hanura di DPR Inas Nasrullah Zubir malah membela penolak gerakan #2019GantiPresiden.
Inas begitu ia disapa juga menilai wajar adanya penolakan gerakan di sejumlah daerah itu. Penolakan merupakan bentuk dari kemarahan dan kemuakan masyarakat.
“Karena tim bayangan salah satu capres melakukan tindakan yang memprovokasi masyarakat dengan kegiatan deklarasi ganti presiden,†ujar Inas saat dikonfirmasi oleh KedaiPena.com.
Inas bahkan juga menyindir kegiatan tersebut menunjukan bahwa capres dari kubu sebelah, Prabowo Subianto, adalah capres ayam sayur. Sebab, Prabowo tidak berani terang-terangan medeklarasikan diri, dan hanya menunggu reaksi masyarakat.
“Apakah gagasan mengganti presiden tersebut diterima masyarakat atau tidak, jika gagasan tersebut tidak diterima masyarakat, maka capres tersebut tidak akan mengeluarkan dana untuk kampanye,†geram Inas.
Inas juga menegaskan, bahwa deklarasi mengganti presiden tersebut melanggar Pasal 6 Undang-undang 9/1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum. Karena menimbulkan permusuhan dan kebencian dan berpotensi terjadinya bentrokan antara masa yang mendukung dengan masa yang menolak.
“Tapi mereka tidak peduli, walaupun korban akan berjatuhan karena yang terpenting bagi tim capres ayam sayur tersebut. Mereka manfaatkan seolah-olah tim capres ayam sayur dizolimi oleh Pemerintah. Padahal, sesuai Pasal 15 UU No. 9/1998 tersebut, apabila pelaksanaan penyampaian pendapat di muka umum melanggar pasal 6, maka dapat dibubarkan oleh aparat,†beber Inas.
Pengamat Politik dari Universitas Al Azhar Indonesia (UAI) Ujang Komarudin beranggapan bahwa tidak ada yang salah dan keliru dengan gerakan yang digagas sejumlah warga negara Indonesia yang menginginkan adanya pergantian kepemimpinan nasional.
Ujang begitu ia disapa mengungkapkan sepanjang dalam koridor konstitusi dan Pancasila gerakan tersebut tidaklah melanggar hukum.
“Aspirasi deklarasi ganti presiden sah-sah saja. Yang tidak boleh dan dilarang adalah mengkudeta presiden,” kata Ujang
Menurutnya, adanya resistensi dari sebagian pihak terhadap gerakan ganti presiden 2019 tidak semestinya terjadi.
“Di negara demokrasi sejatinya penolakan tersebut tidak harus terjadi. Siapapun berhak untuk menyampaikan aspirasi ganti presiden. Selama dilakukan dengan damai dan aman. Juga tidak anarkis,” tandasnya.
“Ketika kita sepakat memilih berdemokrasi, maka selama itu pula negara harus bisa menjamin kebebasan berekspresi setiap warga negara,” tandas Ujang.
Laporan: Muhammad Hafidh