KedaiPena.com – Kebutuhan akan energi bergerak sejalan dengan meningkatnya populasi masyarakat. Tak pelak, Indonesia sudah harus mempersiapkan sumber energi yang tak hanya hijau dan murah tapi juga berkapasitas besar dan tak berhenti beroperasi untuk mempersiapkan pengganti energi batu bara yang kian menipis cadangannya dan juga dalam upaya menjaga iklim dunia.
Pimpinan Woman in Nuclear, Himpunan Masyarakat Nuklir Indonesia (HIMNI) Geni Rina Sunaryo menyatakan kebutuhan akan energi untuk melakukan pembangunan dan pengembangan industri dapat dijawab dengan menghadirkan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN).
“Kebutuhan energi untuk menopang negara ini diperkirakan akan naik tujuh kali lipat pada 2060. Sumbernya dari mana? Karena bukan hanya energi itu harus hijau dan harganya murah saja. Tapi juga harus mampu menghasilkan energi besar dan mampu beroperasi secara terus menerus,” kata Geni saat dihubungi, Jumat (31/12/2021).
Ia memaparkan bahwa dalam upaya net zero emissions, tekanan untuk menggantikan sumber energi yang berasal dari batubara digaungkan oleh semua negara.
“Secara power, jika diperuntukkan sebagai pengganti pembangkit batu bara, tentunya dibutuhkan pembangkit energi hijau yang power-nya bisa besar, seperti 1.000 MW atau lebih, dan juga bisa dioperasikan terus menerus tanpa istirahat selama paling tidak setahun atau lebih non stop. Terutama untuk Pulau Jawa yang kebutuhan energinya sangat besar. Dan ini hanya bisa dijawab oleh PLTN,” tuturnya.
Sementara, untuk pulau atau daerah yang populasinya kecil dengan kebutuhan listrik yang lebih kecil bisa dipenuhi dengan penghasil energi lainnya.
“Kalau daerah yang penduduknya sedikit tetapi ada banyak proyeksi industri, seperti smelter yang membutuhkan listrik besar? Jawabannya juga bertumpu pada PLTN,” tuturnya.
Geni menyebutkan PLTN sudah masuk dalam peta jalan pengisi capaian net zero emisi karbon Indonesia, di mana pada 2045 sudah ada yang harus beroperasi menggantikan sebagian pembangkit batu bara yang harus pensiun. Dengan alasan polusi maupun defisit batu bara yang pasti terjadi dalam jangka dua puluh tahun mendatang.
“Sudah bukan zamannya mengunyah isu nuklir sebagai cemilan yang pedas. Kita harus mengubah selera kita. Harus siap mengunyah, dalam arti siap dari segala aspek baik teknis, budaya politis, kesehatan, dan ekonomi,” tuturnya lagi.
Ia menegaskan bahwa aturan terkait pembangunan pembangkit nuklir sudah ada dan menjadi otoritasnya badan regulasi, yakni BAPETEN.
“Aturannya sangat detail. Karena nuklir memang mengedepankan keselamatan dan keamanan bagi manusianya. Tahapan pembangunannya sendiri bisa menghabiskan waktu empat hingga sepuluh tahun, tergantung pada seberapa mulusnya penyediaan seluruh perangkatnya serta jaminan kualitasnya. Dan tahapan pembangunan ini adalah tangga ke tiga dari lima tangga yang dipersyaratkan oleh BAPETEN,” kata Geni.
Dimulai dari tahapan untuk mendapatkan izin tapak atau lokasi, kemudian lisensi desain, izin pembangunan atau konstruksi, izin komisioning, dan terakhir adalah izin operasi. Keseluruhan izin ini bisa menghabiskan waktu lebih dari lima tahun sendiri, bergantung pada kepiawaian regulator dalam mengevaluasi dokumen vendor. Analisis dampak lingkungan pun dibutuhkan pada tahapan mendapatkan izin tapak.
“Makanya, penduduk sekitar harus dilibatkan dan paham terkait keselamatan PLTN. Tidak ada yang diragukan dengan keselamatan desain pembangkitnya itu sendiri. Karena sudah menjadi pembangkit komersial lebih dari 60 tahun di dunia. Hanya saja image nuklir memang unik. Sehingga pelibatan publik sejak dini sebaiknya dilakukan. Untuk apa? Meminimalkan dampak sulutan isu yang kurang sedap dari pebisnis yang berseberangan,” pungkasnya.
Laporan : Natasha